Game Gacha di Jepang Banyak yang Tutup Sebelum Samai Tahun Ketiga

dimas

By dimas

Dahulu, industri game mobile gacha di Jepang sempat merajai pasar pada akhir 2010an. Namun, sejak memasuki dekade 2020an, model ini mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan daya tarik. Pasar menjadi semakin padat, dengan setiap developer berusaha mengembangkan versi gacha mereka sendiri. Pemain mulai menyadari bahwa banyak game gacha tidak bertahan lama, dan kebanyakan hanya memiliki umur hidup layanan sekitar dua hingga tiga tahun.

Ayashii Rinjin, seorang analis game yang fokus pada industri gacha dan live service, telah merilis data yang mengejutkan. Dari database yang mencakup hampir 2.200 game live service, lebih dari 70 persen dari mereka dinyatakan tutup sebelum mencapai tahun ketiga. Bahkan, sebagian besar game justru mengumumkan penutupan layanan di tahun kedua mereka.

Data yang disajikan menambahkan bukti tambahan:

  • 28 game tutup dalam rentang 0 hingga 90 hari sejak peluncuran.
  • 163 game berhenti beroperasi dalam 6 bulan pertama.
  • 501 game mengakhiri layanan dalam tahun pertama.
  • 554 game ditutup setelah beroperasi selama dua tahun.
  • 295 game tidak bertahan sampai tahun ketiga.
  • 178 game gagal di tahun keempat.
  • 135 game ditutup setelah lima tahun operasi.
  • 89 game hanya bertahan enam tahun.
  • 69 game berakhir di tahun ketujuh.
  • 160 game melampaui tujuh tahun, tetapi jumlah ini sedikit.
  • Total game yang sudah nonaktif mencapai 2.172.
  • 1.541 game (atau 70,9 persen) tidak mencapai tahun ketiga.
  • 692 game (31,9 persen) ditutup sebelum tahun pertama.

Situasi saat ini tidak menyenangkan bagi industri. Persaingan menjadi semakin ketat, basis pemain terbatas, biaya pengembangan terus naik, dan tenaga kerja berkualitas semakin langka. Beberapa pihak bahkan menggambarkan ekosistem game live service Jepang saat ini seperti kapal Titanic yang perlahan tenggelam. Bahkan title dengan modal besar terkadang gagal mempertahankan momentum.

Contoh terbaru adalah Tribe Nine dari Akatsuki Games, yang dikembangkan oleh tim di belakang Danganronpa. Game ini ditutup kurang dari setahun setelah rilis. Ada pula kasus seperti game NFT TOKYO BEAST yang hanya bertahan dua bulan. Ini bukan kasus terisolasi, karena banyak game yang mengalami nasib serupa dalam beberapa tahun terakhir.

Data dari Ayashii Rinjin menunjukkan bahwa mengelola game live service serupa dengan berjudi. Lebih banyak game yang gagal dalam enam bulan pertama dibanding yang berhasil bertahan hingga tahun keenam atau ketujuh. Bahkan ketika berhasil bertahan lama, itu bisa menjadi beban. Contohnya, Dragon Quest of the Stars beroperasi selama sepuluh tahun namun akhirnya ditutup karena masalah teknis yang menumpuk. Programmer Eihigh menyatakan bahwa setelah satu dekade, kode game sudah terlalu rumit untuk diperbaiki.

Pada kondisi seperti ini, banyak developer mulai mencoba pendekatan yang lebih ramah pemain dan tidak terlalu bergantung pada sistem gacha yang agresif. Kegagalan ini juga diikuti dengan kemunculan Genshin Impact, yang menentukan standar baru dalam kualitas gameplay dan narasi, membuat banyak game Jepang terlihat kurang menarik. Saat ini, semakin banyak game besar dari China yang meniadakan sistem gacha, seperti Duet Night Abyss dan ANANTA. Masih menarik untuk melihat apakah developer game Jepang akan ikut berubah atau tidak.

Meskipun industri saat ini menghadapi tantangan besar, ini juga menjadi peluang bagi mereka yang berani inovasi. Pengembang yang mampu menciptakan pengalaman bermain yang berkelanjutan dan menyenangkan memiliki peluang untuk berkembang di pasar yang semakin kompetitif. Masa depan game mobile gacha mungkin tidak terlihat cerah, tetapi perubahan dan adaptasi akan menjadi kunci untuk tetap bertahan.

Baca juga games lainnya di Info game terbaru

Tinggalkan Balasan