KPPU Tingkatkan Status Penyidikan Pelanggaran Bisnis AC AUX

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menyelesaikan proses penyelidikan terhadap tuduhan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam penjualan air conditioner (AC) merek AUX. Kasus ini kini siap untuk dilanjutkan ke tahap Sidang Majelis Komisi.

Terdapat tiga perusahaan yang terlibat dalam kasus ini: Ningbo AUX Electric Co., Ltd (AUX Electric), Ningbo AUX IMP. & EXP. Co., Ltd (AUX Exim), dan PT Teknologi Cipta Harapan Semesta (TCHS). AUX Electric adalah bagian dari AUX Group, sebuah konglomerat global asal Tiongkok yang berfokus pada pengembangan dan penjualan sistem HVAC. AUX Exim menangani ekspor-impor produk grup ini, sedangkan TCHS berperan sebagai distributor eksklusif sistem pendingin AUX di Indonesia.

Duga-duga pelanggaran dimulai ketika kerja sama penjualan dan distribusi antara AUX Electric, AUX Exim, dan PT Berkat Elektrik Sejati Tangguh (PT BEST) putus secara sepihak. Perusahaan PT BEST selama puluhan tahun telah mempromosikan dan mengembangkan pasar AC AUX di Indonesia.

KPPU menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja sama sepihak tersebut terjadi pada tahun 2024. Hal ini terjadi setelah PT BEST mengalami berbagai kendala dalam kegiatan usahanya, yang akhirnya mengakibatkan perusahaan ini berhenti beroperasi dalam penjualan produk pendingin udara merek AUX. Untuk menjaga kelanjutan distribusi produk, AUX Group kemudian bekerja sama dengan perusahaan baru, yakni PT Teknologi Cipta Harapan Semesta (TCHS).

KPPU telah mengumpulkan bukti yang memadai yang menunjukkan dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terkait hambatan usaha yang dialami PT BEST oleh AUX Electric, AUX Exim, dan TCHS dalam penjualan dan distribusi AC AUX.

Pada tahap selanjutnya, Sidang Majelis Komisi akan mengadakan pertemuan antara Investigator dan para Terlapor. Dalam sidang tersebut, mereka akan menyampaikan dugaan dan tanggapan serta menghadirkan saksi maupun ahli. Jika terbukti melakukan pelanggaran, para terlapor dapat dikenakan denda hingga 50% dari keuntungan bersih atau 10% dari total penjualan di pasar bersangkutan selama masa pelanggaran.

Informasi selanjutnya, peningkatan status perkara ini telah ditetapkan melalui Rapat Komisi yang digelar pada Rabu (12/11) lalu di Jakarta.

Kasus ini menjadi contoh penting tentang pentingnya kerjasama yang adil dalam bisnis, terutama dalam industri teknologi dan distribusi. Pelanggaran persaingan usaha tidak hanya berdampak pada perusahaan yang terkena, tetapi juga dapat menggoyahkan stabilitas pasar dan konsumen. Hal ini menekankan pentingnya regulasi yang kuat untuk memastikan lingkungan bisnis tetap sehat dan transparan.

Dari sisi pembaca, kasus ini juga memberikan pelajaran tentang risiko yang ditimbulkan oleh praktik bisnis yang tidak etis. Konsumen harus diperhatikan bahwa produk yang mereka beli berasal dari perusahaan yang beroperasi secara adil, dan bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan produk dengan harga yang wajar tanpa ada monopoli atau praktik tidak sehat yang berlaku di belakang layar.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan