"Mengungkap Tuntutan Birokratisasi dalam Konteks Kepahlawanan"

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Bangsa yang hebat adalah bangsa yang mengakui kontribusi pahlawannya. Kita mengingat kalimat itu seperti mantra yang menguatkan ritual tahunan yang selalu dirayakan dengan antusias. Setiap tahun, tim khusus dibentuk, dana khusus dialokasikan, dan diskusi mulai dari kalangan akademisi hingga politik berlangsung untuk menentukan siapa yang pantas disebut sebagai Pahlawan Nasional.

Namun, pertanyaan timbul, apakah penghargaan ini hanya simbolik atau telah kehilangan makna aslinya? Ketika acara ini menjadi rutinitas tahunan yang hampir sakral, apakah kita benar-benar menjaga ingatan kolektif atau hanya mengulang masa lalu tanpa tujuan jelas? Negara kita kelihatannya seperti orang tua yang suka membuka album foto lama, namun lupa untuk mencari peta baru.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional di Indonesia sudah menjadi proses institusional yang mirip dengan birokrasi memori. Tidak hanya Kementerian Sosial yang terlibat, tetapi juga peneliti, sejarawan, tokoh masyarakat, hingga lembaga legislatif dan eksekutif.

Proses ini bukan hanya menarik tenaga, tetapi juga mengonsumsi anggaran yang tidak sedikit. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), kegiatan ini termasuk dalam program pengembangan karakter bangsa.

Tapi, apakah karakter bangsa sebenarnya terbina melalui penetapan tokoh setiap 10 November? Di tengah berbagai krisis pembangunan yang dihadapi, sebaiknya kita mempertimbangkan kembali perhatian kita pada masa lalu dan kesibukan kita di masa depan.

Negara lain juga mengenang pahlawan mereka. Namun, mereka tidak menormalisasi proses penobatan sebagai kegiatan tahunan yang memakan sumber daya besar. Amerika Serikat, misalnya, menghormati George Washington dan Abraham Lincoln tanpa mengharuskan gelar baru setiap tahun. Di India, Mahatma Gandhi tidak pernah secara resmi diberi gelar Pahlawan Nasional, meski peranannya tak tergantikan. Di Afrika Selatan, Nelson Mandela dan Steve Biko tetap dikenang tanpa upacara tahunan yang mewah. Di situ, sejarah menjadi panduan moral, bukan proyek administratif. Mengenai kenapa Indonesia berbeda, sebagian orang akan menjawab bahwa kita ingin menghindari lupa dan menjunjung tinggi amanat Bung Karno untuk tidak meninggalkan sejarah. Namun, ada pula pendapat lain.

Menghindari lupa tidak berarti terus membuat gelar baru. Menghargai sejarah bukan berarti menambah daftar tokoh terus-menerus. Justru dalam ketenangan dan kedalaman kita mengingat, di situ penghormatan sejati terwujud. Peringatan bukan tentang seremoni, tetapi tentang internalisasi nilai.

Menurut teori memori kolektif Maurice Halbwachs, masyarakat membentuk identitas melalui ingatan kolektif yang dibentuk dan dilindungi oleh institusi sosial. Namun, Halbwachs juga memperingatkan bahwa memori bisa menjadi beban jika dipaksa terus-menerus dalam bentuk simbol yang kosong. Ketika penghargaan terhadap pahlawan menjadi proyek tahunan negara, kita berisiko menjadikan sejarah sebagai beban administratif, bukan sebagai energi etik.

Penetapan gelar pahlawan setiap tahun bisa menjadi usaha pelestarian identitas yang berlebihan, bahkan menjadi ancaman. Kita tak menolak penghargaan bagi para pejuang. Namun, mengubahnya menjadi agenda tahunan dengan keharusan menambahkan nama baru setiap kali berbahaya. Ini menciptakan kompetisi politik, konflik antar daerah, dan bahkan komodifikasi sejarah. Seharusnya sejarah sakral, bukan dikomodifikasi.

Dalam pertemuan ilmiah, saya sering menemui diskusi tentang siapa yang pantas diberi gelar. Yang menarik, diskusi itu sering lebih politis daripada akademis. Ada lobi, aspirasi lokal, dan kalkulasi elektoral. Sejarah menjadi medan pertarungan identitas yang dikemas dalam bentuk penghargaan. Padahal, pahlawan sejati tidak pernah menuntut dikenang. Mereka bekerja dalam diam, percaya bahwa sejarah akan mencatat mereka dengan caranya sendiri.

Indonesia tampaknya lebih sibuk memandang ke belakang daripada ke depan. Terlalu terikat pada masa lalu yang agung, sampai lupa bahwa generasi sekarang dan masa depan juga membutuhkan narasi baru. Pahlawan tidak hanya tentang mereka yang gugur dalam perang atau berbicara di podium, tetapi juga mereka yang mencabangkan batas ketertinggalan hari ini.

Mengapa negara tidak lebih memperhatikan “pahlawan masa depan” seperti guru di daerah terpencil, tenaga kesehatan di wilayah konflik, atau inovator muda yang menciptakan teknologi ramah lingkungan?

Kita cenderung menjadikan masa lalu sebagai kompas tunggal navigasi bangsa. Akibatnya, kita sering kehilangan sensitivitas pada perubahan zaman. Negara-negara merdeka setelah Indonesia seperti Korea Selatan, Vietnam, bahkan Rwanda tidak terus-menerus meratapi masa lalu. Mereka membaca masa lalu dengan seimbang, tapi membaca masa depan dengan serius. Sementara kita, sibuk membaca masa lalu dan terlalu khusyuk membuka lembar-lembar lama.

Tradisi pemberian gelar pahlawan setiap tahun juga memberi kesan bahwa bangsa ini takut kehilangan identitas. Padahal, identitas kita tidak begitu rapuh. Kita memiliki bahasa nasional, dasar negara, pengalaman sejarah kolektif yang panjang, dan keragaman budaya yang unik. Krisis identitas terjadi bukan karena kurangnya pahlawan, tetapi karena minimnya orientasi masa depan. Kita gagal mengartikulasikan visi negara dalam 50 tahun mendatang. Akibatnya, kita terjebak dalam nostalgia yang berulang.

Pertanyaan yang penting, untuk siapa sebenarnya gelar pahlawan itu diberikan? Apakah untuk mereka yang berjasa, atau untuk memenuhi tuntutan masyarakat tertentu agar tokoh lokal mereka diakui secara nasional? Atau, untuk memberikan kesan kepada pemerintah bahwa mereka masih menghargai sejarah?

Tanpa jawaban yang jelas, kita berisiko menjadikan pahlawan nasional sebagai “penghargaan politis” alih-alih “penghargaan historis”. Pahlawan nasional seharusnya menjadi simbol moral, bukan daftar yang diperbarui setiap tahun. Kita tidak membuat daftar hadir seminar, tetapi menorehkan nama dalam memori kolektif bangsa. Memori, seperti kata Halbwachs, tidak tumbuh dari administratif, tetapi dari pengalaman dan narasi yang dihidupi masyarakat. Jika setiap tahun harus ada nama baru, kita kehilangan keistimewaan makna.

Yang lebih mengecewakan adalah gelar pahlawan menjadi ajang persaingan antar daerah. Ada semacam euforia regionalisme, seakan daerah tanpa pahlawan akan kehilangan kehormatan. Padahal, kemajuan suatu daerah tidak ditentukan oleh jumlah pahlawan, tetapi oleh pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang kuat. Kita seperti salah alamat dalam mencari prestise.

Kita juga terlalu sering menjadikan 10 November sebagai satu-satunya waktu untuk membicarakan patriotisme. Padahal, semangat pahlawan bisa dihidupkan setiap hari, melalui integritas, kejujuran, kerja keras, dan kepedulian sosial. Menjadikan satu hari sebagai ritual kolektif baik, tapi menjadikannya satu-satunya ukuran cinta tanah air terlalu sempit. Semangat pahlawan adalah laku hidup, bukan seremoni tahunan.

Yang lebih mengkhawatirkan, banyak anak muda tidak lagi tertarik dengan diskursus pahlawan. Mereka lebih mengidolakan tokoh kontemporer yang relevan dengan kehidupan mereka seperti pendiri startup, kreator konten, atau aktivis lingkungan. Apakah mereka salah? Tidak. Karena pahlawan adalah mereka yang memberikan dampak positif, bukan hanya yang tercatat dalam buku sejarah. Negara perlu merumuskan ulang konsep “kepahlawanan” agar sesuai dengan semangat zaman.

Kita perlu mengevaluasi kembali proses pemberian gelar pahlawan ini. Apakah masih relevan, apakah perlu direformasi, atau bahkan dihentikan sementara untuk refleksi? Bukan untuk mengabaikan sejarah, tetapi untuk menata ulang cara kita menghormatinya. Kita terlalu lama berkubang dalam masa lalu, kini saatnya berjalan ke depan. Sejarah adalah fondasi, bukan tempat tinggal.

Belajar dari negara-negara lain yang berhasil berkembang dengan tenang. Mereka tidak terpikat oleh seremoni, tapi sibuk dengan riset, teknologi, dan pendidikan. Mereka tidak terjebak dalam glorifikasi tokoh masa lalu, melainkan menciptakan tokoh baru di setiap bidang. Sementara kita, masih sibuk menentukan siapa yang akan diberi gelar tahun ini.

Kita bisa mulai dengan membatasi frekuensi pemberian gelar pahlawan, misalnya hanya setiap lima tahun, dengan seleksi yang lebih ketat dan transparan. Hal ini akan membuat gelar lebih bermakna, eksklusif, dan dipertimbangkan dengan lebih dalam. Penghargaan tak perlu sering, yang penting dalam dan jujur.

Media massa juga harus berperan dengan tidak menjadikan hari pahlawan sebagai ajang glorifikasi berlebihan, dan mulai mengangkat kisah-kisah kecil tentang warga biasa yang mengubah hidup orang lain. Pahlawan bukan hanya mereka yang memegang senjata, tapi juga mereka yang memegang prinsip dalam kehidupan sehari-hari. Kita butuh narasi baru.

Jika tidak ada perubahan, pemberian gelar pahlawan akan seperti ulang tahun yang berulang tanpa makna baru. Kita akan terus berputar di tempat, tanpa arah. Padahal dunia bergerak cepat, dan bangsa-bangsa lain sudah maju jauh. Mereka tak sibuk menengok masa lalu, karena mereka sibuk mencipta masa depan.

Bung Karno, yang kadang dikutip tentang sejarah, juga pernah berkata, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Namun, ia tidak pernah berkata, “Berikan aku 10 pahlawan tiap tahun.” Ini tafsir penting. Karena pahlawan yang sejati adalah mereka yang mencipta masa depan, bukan sekadar dikenang dalam masa lalu.

Kita tidak anti sejarah. Kita semua tahu bahwa akar bangsa ini tertanam dalam kisah para pejuang. Tetapi kita juga tahu bahwa akar yang sehat adalah akar yang menopang pohon tumbuh ke atas, bukan akar yang mencekik batang. Jika sejarah terlalu memberatkan, kita tak akan bisa tumbuh. Kita harus bijak menempatkan sejarah di tempatnya sebagai pelajaran, bukan jebakan.

Terlalu banyak membaca masa lalu membuat kita gagal membaca masa depan. Kita tidak kekurangan pahlawan, kita hanya kekurangan visi. Maka mari kita tata ulang cara kita menghormati masa lalu, agar tak mengorbankan masa depan.

Apakah ini berarti kita harus melupakan pahlawan? Tidak. Tetapi mari kita berhenti menjadikannya proyek tahunan. Kita butuh pahlawan, tetapi yang lebih kita butuhkan adalah bangsa yang bisa menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri.

Bangsa yang besar bukan hanya menghargai jasa pahlawannya, tetapi juga mampu menciptakan masa depan yang lebih baik. Kita harus berpikir kritis tentang cara kita menghormati sejarah dan bagaimana kita bisa menyatukan masa lalu dengan visi yang lebih luas. Hanya dengan demikian, kita bisa maju tanpa kehilangan akar kita.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan