Mahasiswa Menolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto sebagai Tokoh Penindasan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Figur Presiden keenam Republik Indonesia, Soeharto, selalu menjadi subjek perdebatan dalam masyarakat. Beberapa pihak mendukungnya, sementara yang lain mengkritik gaya kepemimpinannya.

Dukungan terhadap Soeharto terlihat dari berbagai gerakan, termasuk ungkapan populer “Enak Jamanku to?”.

Namun, terdapat juga kelompok yang menentang kekuasaannya, khususnya dalam konteks masa Orde Baru.

Debat ini semakin hangat setelah pemerintah mendeklarasikan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Salah satu pendapat yang kritis datang dari aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara Wilayah Jawa Barat. Mereka menyoroti keputusan itu dianggap mengganggu semangat Reformasi 1998, gerakan yang berhasil mengakhiri rezim Orde Baru.

Yusa Anwarun Naja, bendahara daerah BEM Nusantara Jawa Barat, menyebut keputusan pemerintah sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mahasiswa dan rakyat yang pernah menumbangkan rezim otoriter.

“Jika Soeharto disebut pahlawan, maka siapa kita yang menurunkannya? Apakah mahasiswa, rakyat, dan korban penindasan itu kini dianggap penjahat sejarah?” ujar Yusa kepada Radar, Rabu (12/11/2025).

Menurutnya, penetapan Soeharto bukan hanya penghargaan, melainkan upaya membangun counter history yang dapat menghilangkan ingatan kolektif bangsa tentang luka-luka sejarah.

Yusa juga menegaskan bahwa prestasi Soeharto dalam pembangunan ekonomi tidak bisa menutupi catatan pelanggaran HAM, korupsi, dan pembatasan kebebasan selama 32 tahun kekuasaannya.

“Pahlawan sejati bukan yang membangun atas dasar ketakutan, tetapi yang berdiri bersama rakyat dan menolak tunduk pada ketidakadilan. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tanpa kejujuran sejarah adalah bentuk pembenaran terhadap penindasan masa lalu,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa keputusan itu bisa menipiskan nilai-nilai reformasi yang diperjuangkan mahasiswa pada 1998.

“Kita menolak untuk melupakan. Lupa adalah awal dari pembenaran penindasan. Sejarah tidak boleh ditulis ulang demi kepentingan politik,” ujar Yusa.

Debat ini mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan bagaimana sejarah seharusnya ditulis dan diingat. Memahami masa lalu dengan jujur adalah langkah penting untuk menghindari pengulangan kesalahan. Reformasi bukan hanya tentang perubahan politik, tetapi juga tentang kesadaran kolektif untuk menjaga nilai-nilai demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan