Mengapa LPG Harus Diganti dengan DME: Mengurangi Kebangkrutan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa kebutuhan impor gas elpiji (LPG) di Indonesia pada tahun 2026 akan mengalami kenaikan signifikan. Menurut data yang disampaikannya, kebutuhan akan mencapai 10 juta ton setiap tahunnya.

Bahlil menjelaskan bahwa peningkatan ini berkaitan erat dengan operasionalisasi pabrik petrokimia PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cirebon, yang baru saja diresmikan Presiden Prabowo Subianto. Pabrik tersebut membutuhkan sekitar 1,2 juta ton LPG setiap tahun. Proyek ini melibatkan investasi sebesar US$ 3,9 miliar, atau sekitar Rp 62,4 triliun. Ini merupakan pembangunan kembali kompleks Naphtha Cracker di Indonesia setelah beroperasi lebih dari 30 tahun.

Fasilitas tersebut merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara dan akan memproduksi etilena, propilena, serta berbagai produk turunannya, bahan baku penting bagi banyak industri di dalam negeri. “Kita memahami bahwa dengan adanya pabrik di Cilegon, kebutuhan LPG sekitar 1,2 juta ton per tahun. Oleh karena itu, konsumsi LPG di tahun 2026 akan mencapai hampir 10 juta ton,” ujar Bahlil dalam keterangan tertulis, dilaporkan pada Sabtu (8/11/2025).

Untuk mengatasi situasi ini, Bahlil menyarankan agar pemerintah mempercepat proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai alternatif LPG. Ini juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor LPG. Proyek DME telah dibahas dalam Rapat Terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto. Dalam rapat tersebut, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya mempercepat pembangunan industri energi dalam negeri.

“Kita tidak dapat menunda lagi, harus segera membangun industri-industri dalam negeri,” tegas Bahlil.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengungkapkan bahwa ada investor dari China yang tertarik menanamkan modal sebanyak US$ 1,2 miliar, atau sekitar Rp 19,7 triliun, untuk proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Namun, Tri belum menjelaskan nama perusahaan China yang akan menggarap proyek tersebut. Ia juga belum membocorkan identitas perusahaan swasta dalam negeri yang akan terlibat.

“Indonesia akan bekerjasama dengan perusahaan swasta asing, negara asalnya China. Pra-FS telah selesai, investasi sekitar US$ 1,2 miliar,” kata Tri di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, pada Kamis malam (31/7/2025) lalu. Tri menambahkan bahwa tingkat pengembalian investasi (internal rate of return/IRR) proyek tersebut di atas 15% dengan menggunakan batu bara kualitas rendah.

“Investasi ini dilakukan oleh perusahaan sendiri, artinya negara tidak perlu mengeluarkan dana. Dengan IRR yang menarik, mungkin dalam waktu yang tidak lama, kita bisa memulai industri DME ini, dengan batu bara kualitas rendah,” katanya.

Saat ini, Indonesia tengah berusaha mengembangkan industri energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan impor. Proyek-proyek seperti gasifikasi batu bara menjadi DME menjadi salah satu solusi yang diupayakan untuk mendukung kebutuhan energi domestik. Dengan adanya investasi besar dari pihak asing, diharapkan proyek ini dapat segera terealisasi. Ini juga memberikan peluang bagi perusahaan swasta dalam negeri untuk ikut berperan dalam pembangunan industri energi. Dengan demikian, Indonesia dapat meningkatkan kedaulatan energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan perhatian yang serius terhadap peluang ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk meningkatkan daya saing industri dan mengurangi pengaruh fluktuasi harga energi global. Ini bukan hanya tentang mengurangi impor, tetapi juga tentang membangun kemandirian energi yang lebih kuat.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan