Pemerintah Indonesia memilih strategi literasi digital melalui platform Tunasdigital.id sebagai implementasi Peraturan Pemerintah Tunas, berbeda dengan Australia yang menerapkan pembatasan teknis yang ketat seperti verifikasi identitas atau biometrik. Kemkomdigi meluncurkan platform ini untuk membimbing orang tua dalam mengawasi anak di era digital. Metode ini jauh berbeda dengan aturan Australia yang memaksa platform media sosial memblokir pengguna di bawah 16 tahun.
Dalam PP Tunas, terdapat aturan tentang klasifikasi akses media sosial berdasarkan usia dan kebutuhan izin orang tua untuk anak di bawah 15 tahun. Namun, rincian teknis terkait penegakan batasan usia belum dijelaskan dengan jelas. Sebaliknya, Kemkominfo fokus pada gerakan literasi digital melalui Tunasdigital.id, yang berisi panduan bagi orang tua. Meutya Hafid, anggota Komisi I DPR RI, menggambarkan platform ini sebagai “kanal pengetahuan” bagi ibu-ibu untuk memahami cara mengarahkan anak dalam dunia digital.
Tunasdigital.id menyediakan tips, pengalaman orang tua, dan rekomendasi pakar mengenai aplikasi atau game yang aman sesuai usia anak. Fifi Aleyda Yahya, Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kemkominfo, menyatakan bahwa platform ini adalah bagian dari gerakan literasi digital yang bertujuan membekali orang tua agar anak dapat menjelajahi dunia maya dengan bijak.
Sementara Indonesia lebih menekankan pendidikan, Australia memilih pendekatan lebih keras dengan menyanksi platform seperti Meta dan TikTok jika mereka tidak menghapus akun anak di bawah 16 tahun. Kebijakan ini diperkirakan akan menghilangkan 2,5 juta pengguna di bawah umur dari monetisasi. PP Tunas juga mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menerapkan sistem yang ramah anak, melakukan verifikasi usia, dan membatasi akses konten. Namun, Kemkominfo saat ini lebih fokus pada edukasi dan pengawasan orang tua.
Perbedaan pendekatan antara Indonesia dan Australia menunjukkan variasi dalam kebijakan digital global. PP Tunas sebenarnya mengamanatkan verifikasi usia, tetapi implementasinya di Indonesia lebih menekankan peran orang tua melalui pendidikan digital. Hal ini terlihat dari konten Tunasdigital.id yang lebih berfokus pada materi edukatif daripada mekanisme teknis pembatasan. Indonesia memilih membangun kesadaran dari tingkat keluarga, sedangkan Australia lebih menekankan sanksi finansial bagi platform yang melanggar.
Pendekatan ini muncul di tengah perdebatan global tentang cara terbaik melindungi anak di dunia digital. Beberapa negara lebih memilih regulasi ketat, sementara yang lainnya mengedepankan pendidikan. Pemerintah Indonesia telah melarang anak memiliki akun media sosial, tetapi implementasinya lebih lunak. Dengan demikian, kedua negara memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing dalam melindungi anak di dunia digital.
Penggunaan teknologi dalam moderasi konten menjadi tren global. Seperti yang dilakukan The New York Times yang mulai menggunakan AI untuk dapur redaksi dengan batasan, teknologi dapat membantu jika digunakan dengan tepat. Di sisi lain, Rusia mengambil langkah radikal dengan rencana melarang WhatsApp dan menggantikannya dengan aplikasi MAX. Ke depan, efektivitas pendekatan literasi digital ala Indonesia melalui Tunasdigital.id akan menjadi perhatian banyak pihak. Platform ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang dalam membentuk perilaku digital yang sehat, sambil menunggu penyempurnaan regulasi teknis verifikasi usia yang dianjurkan PP Tunas.
Kebijakan digital Indonesia menunjukkan komitmen dalam melindungi anak di era digital melalui pendekatan yang lebih kolaboratif. Dengan menanamkan kesadaran pada tingkat keluarga dan memberdayakan orang tua, negara ini berharap dapat menciptakan generasi yang lebih bijak dalam berinteraksi dengan dunia maya. Hal ini tidak hanya mendorong penggunaan teknologi dengan bijak, tetapi juga memastikan bahwa anak-anak dapat menjelajahi dunia digital dengan aman dan berkelas.
Baca juga Info Gadget lainnya di Info Gadget terbaru

Penulis Berpengalaman 5 tahun.