Singapura telah menjadikan penghijauan dan penyediaan tempat teduh sebagai prioritas utama di setiap area kota. Panas merupakan ancaman iklim paling mematikan, mengakibatkan lebih banyak korban jiwa dibandingkan gabungan banjir, badai, dan kebakaran hutan. Kota-kota, yang mengalami pemanasan dua kali lebih cepat daripada daerah lain akibat efek pemanasan perkotaan, menjadi area paling berisiko. Suhu di kawasan perkotaan biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Seiring dengan peningkatan suhu global, pemimpin kota di berbagai belahan dunia, mulai dari Paris hingga Phoenix, telah merencanakan penambahan fasilitas tempat teduh secara strategis. Namun, Singapura, dengan iklim panas teriknya, mungkin sudah memiliki infrastruktur naungan terbaik di antara semua kota di dunia.
Warga Singapura telah mengembangkan cara sendiri untuk menghadapi cuaca panas dan hujan lebat, dengan trotoar beratap sebagai solusi utama. Asal-usul naungan publik ini tidak jelas, namun kemungkinan berasal dari Asia Tenggara, meskipun menyerupai portico Bologna, Italia. Stamford Raffles, pejabat kolonial Inggris yang menjadi pendiri Singapura pada awal abad ke-19, mencatat konsep ini dalam rencana tata kota pertama tahun 1822. Dia mewajibkan pembangunan jalur pejalan kaki yang berfungsi dan beratap di kedua sisi jalan untuk memudahkan transportasi selama cuaca buruk. Namun, konsep “teras” beratap ini akhirnya ditinggalkan.
Pada 1960-an, Lee Kuan Yew, perdana menteri Singapura yang membawa negara menuju kemerdekaan, memulihkan konsep tersebut dengan versi modern. Lee sangat peduli dengan iklim dan kenyamanan, percaya bahwa kelembapan menghambat produktivitas ekonomi. Di dalam ruangan, ia mengubah Singapura menjadi “negara ber-AC”, sementara di luar ruangan, ia sangat memfokuskan pada tempat teduh. Dia bahkan pernah berlutut di tanah panas untuk membuktikan kebutuhan naungan.
Selama pembangunan perumahan tinggi pada 1960-an dan 1970-an, para perancang memastikan bahwa lantai dasar setiap struktur tetap terbuka dengan sirkulasi udara yang baik. Lantai dasar ini dijadikan sebagai “dek kosong” komunal yang memungkinkan warga berkumpul sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Pada 1980-an hingga 1990-an, badan perumahan dan transportasi Singapura menambahkan kanopi logam mandiri di atas trotoar untuk memastikan jalur menuju halte bus atau stasiun kereta tetap kering. Saat ini, pemerintah mengklaim telah membangun sekitar 200 kilometer trotoar beratap.
Di Amerika Serikat, pengembang properti diwajibkan untuk menjauhkan bangunan dari jalan untuk memaksimalkan cahaya matahari. Di Singapura, sebaliknya, mereka harus menyediakan kanopi pejalan kaki sepanjang 2,4 meter dari lantai dasar bangunan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan naungan tersebut memberikan efek serupa dengan halte bus yang terawat dengan baik, dengan warga Singapura melaporkan perjalanan di trotoar terasa 14% lebih singkat dibandingkan berjalan di bawah panas matahari.
Kenyamanan di Singapura sangat tergantung pada naungan, baik alami maupun buatan. Yun Hye Hwang, arsitek lanskap dan profesor di Universitas Nasional Singapura, menjelaskan bahwa dengan suhu harian antara 31°C hingga 33°C sepanjang tahun, naungan menjadi kebutuhan utama. Walaupun pohon memberikan keteduhan, Lea Ruefenacht dari Cooling Singapore menegaskan bahwa mereka memiliki keterbatasan karena kelembapan tambahan yang dilepaskan dapat memperparah hawa panas. Oleh karena itu, dia merekomendasikan keseimbangan antara naungan hijau dan abu-abu.
Di Singapura, naungan abu-abu terpadat ditemukan di lantai beton hutan pencakar langit di pusat kota. Pengembang properti diwajibkan untuk menyediakan naungan yang memadai di plaza atau area terbuka, dengan setidaknya 50% dari area tempat duduk harus tetap sejuk antara pukul 09.00 hingga 16.00 waktu setempat. Naungan ini dapat berasal dari pohon, payung, atau tenda, termasuk bayangan dari menara atau bangunan tinggi di sekitarnya.
Pendekatan ini sangat berbeda dengan yang diterapkan di Kota New York, di mana bayangan dari bangunan terhadap ruang terbuka dihindari. Di iklim yang lebih dingin, pengembang diinstruksikan untuk menempatkan plaza di sisi selatan yang menghadap matahari untuk memanfaatkan panas musim dingin. Singapura memiliki prioritas yang berbeda, dengan plaza idealnya ditempatkan di sisi timur bangunan untuk didinginkan oleh naungan di sore hari.
Kelvin Ang, direktur konservasi di Otoritas Pembangunan Kembali Perkotaan Singapura, menjelaskan bahwa masalah utama di wilayah tropis adalah adanya aturan bangunan yang diwarisi dari wilayah beriklim sedang, yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan lokal. Di Singapura, ada kesadaran yang kuat bahwa aturan bangunan harus mendukung naungan karena intensitas matahari.
Para perencana kota meyakini bahwa ruang publik yang tidak teduh tidak akan digunakan. Lee Kuan Yew, yang masih memprioritaskan pepohonan di mana-mana, percaya bahwa Singapura yang “bersih dan hijau” akan menarik investor asing. Di bawah kepemimpinannya, unit taman dan pepohonan baru dibentuk untuk merapikan jalan-jalan utama dengan kanopi lebar dari pohon Angsana, trembesi, mahoni, dan akasia. Lee sering berpesan, “Bunga boleh saja, tapi beri saya naungan dulu.”
Pada 1970-an, ketika Lee menerapkan sistem penetapan harga kemacetan dan skema lain untuk mendorong penggunaan transportasi umum, ia menyadari bahwa terik matahari di trotoar, penyeberangan, dan halte bus dapat mempengaruhi keputusan warga. Oleh karena itu, ia mulai memfokuskan pada perbaikan fasilitas tersebut.
Di Los Angeles, pohon-pohon biasanya ditanam setelah semua pekerjaan utama selesai, termasuk saluran bawah tanah, trotoar, tepi jalan, dan jalan masuk rumah. Akibatnya, pohon-pohon tersebut hanya “dipaksakan” masuk ke lubang beton kecil di trotoar. Di Singapura, Lee memerintahkan agar perencana kota mempertimbangkan faktor bayangan sejak awal perencanaan. Saluran listrik di atas tanah yang merusak trotoar Los Angeles jarang ditemukan di Singapura, karena sebagian besar utilitas diletakkan di bawah tanah dalam lubang-lubang kecil yang membentang di sepanjang pepohonan jalan dan akarnya.
Infrastruktur hijau di Singapura direncanakan oleh para perencana kota, direkayasa oleh badan pekerjaan umum, dan dikelola oleh dewan taman yang anggarannya meningkat sepuluh kali lipat di bawah kepemimpinan Lee. Pendanaan dan koordinasi telah terbukti menjadi pembeda antara hutan kota yang subur dan sekumpulan pepohonan kota yang kumuh.
Selain jalan, para perencana kota Singapura mewajibkan penghijauan dalam pembangunan swasta, meregenerasi taman baru kota untuk mengkompensasi hutan hujan alami yang hampir punah. Pemerintah Singapura memiliki pengaruh yang besar melalui aturan pengambilalihan tanah yang kuat, dengan sekitar 90% lahan dimiliki negara. Inspektur bangunan tidak akan mengizinkan sebuah bangunan untuk dihuni sampai mereka melihat pepohonan di tanah.
Kompleks perumahan umum Singapura yang luas juga dilengkapi dengan halaman berumput, halaman yang rindang, dan jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan yang terhubung dengan taman dan cagar alam. Akibatnya, pepohonan hampir ada di mana-mana, baik di lingkungan kaya maupun miskin. Lee Kuan Yew mengklaim bahwa membedakan antara wilayah kelas menengah dan kelas pekerja akan menjadi “bencana politik” bagi Partai Aksi Rakyat.
Singapura berbeda dari kota-kota di Amerika, di mana naungan sering menjadi indikator ketimpangan ekonomi. Dengan kebijakan perencanaan kota yang cerdas, termasuk pengembangan ribuan hektar taman lokal dan upaya reklamasi lahan yang ambisius, Singapura berhasil menjadi lebih lebat dan hijau secara bersamaan. Pihak berwenang mengklaim hutan kota tumbuh dari 158.600 pohon pada 1974 menjadi 1,4 juta pada 2014, bahkan ketika kota tersebut bertambah tiga juta penduduk. Saat ini, hampir separuh pulau ditutupi rerumputan, semak belukar, dan pepohonan berkanopi lebar, meruntuhkan anggapan bahwa kota tidak dapat menyediakan ruang bagi alam seiring pertumbuhannya.
Daniel Burcham, mantan peneliti di dewan taman, menjelaskan bahwa faktor pembeda pada kesuksesan Singapura adalah lingkungan biofisik yang mendukung. Menanam pohon mudah di iklim tropis dengan musim panas setiap hari dan curah hujan lebih dari 2 meter setiap tahun. Namun, tanpa konsensus politik, ruang untuk pohon-pohon itu tidak akan tersedia. Ini adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintahan Lee, dan visi yang disepakati bersama untuk dicapai.
Saat ini, Burcham mengajar arborikultur di Colorado State University di Fort Collins, kota semi-kering dengan sistem pemerintahan di mana pemimpin politik menjabat dalam periode singkat. Burcham mengakui bahwa Lee Kuan Yew dapat dianggap sebagai orang kuat atau semi-otoriter, tetapi satu hal baik yang datang dari sistem ini adalah kemampuannya menetapkan tujuan dan menyediakan sumber daya serta dukungan politik untuk mencapai tujuan tersebut.
Walaupun hal ini membutuhkan koherensi lintas pemerintahan, tidak ada alasan mengapa pemerintah yang dipilih secara demokratis di kota-kota tropis seperti Miami atau Honolulu tidak dapat mempertahankan proyek serupa. Jadi, apakah semua naungan ini melindungi warga Singapura?
Pada sore hari, jalanan di kawasan bisnis Singapura, yang terbenam dalam bayang-bayang gedung pencakar langit, adalah yang paling sejuk di kota ini. Efeknya berakhir ketika matahari terbenam, dan gedung-gedung melepaskan radiasi matahari yang diserapnya. Pada malam hari, halaman hijau kompleks perumahan umum mungkin menawarkan kelegaan paling besar, karena udaranya 1°C hingga 2°C lebih dingin daripada angin yang berembus di kawasan komersial yang ramai.
Berdasarkan hubungan epidemiologis antara suhu udara dan penyakit akibat panas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang paling teduh di Singapura adalah lingkungan yang paling aman dari risiko penyakit terkait panas. Infrastruktur peneduh seperti pepohonan dan bangunan tidak akan cukup untuk mengatasi semua efek pemanasan akibat perubahan iklim, tetapi akan memberikan dampak.
Efektivitas yang sama seperti yang ditunjukkan Singapura, sebuah negara yang diperintah secara otokratis dan berfokus pada penyediaan naungan berkat obsesi pemimpinnya, kemungkinan besar tidak akan tercapai oleh pemerintah di Amerika Serikat. Sebagian besar kota di AS juga tidak beruntung memiliki iklim ideal seperti Singapura untuk menanam pohon. Namun, Singapura menunjukkan apa yang dapat dilakukan dengan perencanaan naungan yang disengaja oleh pemerintah.
Kota yang lebih sejuk untuk semua orang itu sangat mungkin diwujudkan, jangan berpura-pura menganggapnya mustahil. Singapura telah menunjukkan bahwa dengan komitmen dan perencanaan yang matang, kota-kota lain juga bisa mengikuti jejaknya dalam menciptakan lingkungan yang lebih sejuk dan nyaman bagi warga.
Kota yang lebih sejuk dan nyaman bukan hanya mimpi; Singapura telah membuktikannya. Mari kita ambil pelajaran dari kesuksesan mereka dan terapkan pada kota-kota kita, demi masa depan yang lebih sejuk dan berkelanjutan.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.