Jepang Hadapi Kontroversi Hadapi Rencana Deportasi Massal WNA

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Sanae Takaichi telah mengemban jabatan sebagai pemimpin pemerintahan Jepang. Masa jabatan ini segera dihadapkan dengan kontroversi terkait rencana deportasi massal terhadap warga negara asing.

Menurut laporan AFP, pada Minggu (26/10/2025), informasi tidak akurat yang menyebar di platform X dan Facebook—utamanya berbahasa Inggris—menyatakan bahwa Takaichi, perdana menteri wanita pertama Jepang yang baru dilantik, telah memerintahkan Kimi Onoda untuk mengawasi kementerian terkait. Onoda, yang telah diangkat ke beberapa posisi dalam kabinet Takaichi, kini menjabat sebagai Menteri Keamanan Ekonomi serta pejabat yang bertanggung jawab atas ‘pergaulan harmonis antara warga negara asing dan masyarakat setempat’.

Kementerian dengan nama yang sama telah ada sejak masa kepemimpinan pendahulu Takaichi, Shigeru Ishiba, namun penunjukannya sebagai menteri kabinet untuk mengawasi departemen ini merupakan langkah baru. Onoda menjelaskan bahwa Jepang akan menerapkan aturan lebih ketat terhadap warga asing yang tidak mematuhi peraturan. Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada rencana deportasi massal.

“Penyimpangan sistem oleh beberapa warga asing, kesalahan hukum, dan perilaku buruk mereka telah menimbulkan keprihatinan dan rasa tidak adil di kalangan warga Jepang,” tuturnya.

Walaupun Jepang masih memiliki tingkat imigrasi yang rendah dibandingkan negara maju lain, negara ini sedang menghadapi krisis kekurangan tenaga kerja akibat populasi yang semakin tua dan tingkat kelahiran yang sangat rendah. Hal ini mendorong beberapa sektor memerlukan jumlah imigran yang lebih tinggi. Naiknya jumlah warga asing, termasuk turis, menjadi perhatian utama dalam perebutan kepemimpinan Partai Demokrat Liberal. Takaichi berhasil memenangkan pemilihan kepemimpinan partai tersebut sebelum terpilih sebagai perdana menteri.

Takaichi pernah mengungkapkan bahwa adanya tindakan tidak pantas oleh warga asing di kota asalnya, Nara. Beberapa unggahan di X, misalnya, mengklaim bahwa Takaichi ‘dilantik dan segera membentuk kementerian untuk deportasi massal’, dan video tersebut telah ditonton lebih dari sembilan juta kali. Sementara itu, video lain yang menyebar di Facebook dengan salah mengklaim bahwa kaisar Jepang telah menyetujui rencana deportasi nasional. Informasi palsu ini juga beredar dalam bahasa Thailand, Jerman, dan Spanyol.

Klaim-klaim seperti ini muncul setelah program pertukaran budaya dan sosial Jepang dengan empat negara Afrika dibatalkan bulan lalu. Pembatalan ini memicu banjir email dan panggilan telepon dari masyarakat yang salah mengartikan program tersebut sebagai kebijakan imigrasi baru. Sebelumnya, kota Kitakyushu juga dilaporkan menerima banyak keluhan setelah klaim tidak akurat bahwa kota tersebut merencanakan makan siang ramah Muslim di sekolah.

Pada Juli, partai anti-imigrasi Sanseito meraih hasil yang positif dalam pemilihan majelis tinggi, menambah perolehan kursi dari dua menjadi 15. Di majelis rendah, partai ini memiliki tiga anggota parlemen. Agenda mereka mengikuti gerakan populis global, menentang ‘elitisme’ dan ‘globalisme’, serta berjanji untuk ‘mengembalikan kekuasaan kepada rakyat’.

Jepang kini berada di persimpangan, harus membangun harmoni antara kebijakan imigrasi yang lebih terbuka dengan keinginan masyarakat yang masih cenderung konservatif. Pemerintah harus segera membenahi informasi yang tidak akurat dan memastikan kebijakan mereka tidak terdistorsi. Mendukung diversitas sambil menjaga stabilitas sosial adalah tantangan besar bagi Jepang di masa depan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan