Pemilihan Indonesia: Pandangan dan Keputusan Warga dalam Pemilu

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Sejak reformasi tahun 1998, pemilihan kepemimpinan di Indonesia dilakukan melalui pemilu yang melibatkan partisipasi langsung warga negara yang memenuhi syarat. Suara warga tidak hanya menentukan pemenang, tetapi juga menunjukkan sejauh mana pemilu tersebut demokratis.

Kepentingan politik yang dipilih oleh warga adalah tanda kesadaran yang terwujud dalam bilik suara. Pilihan ini mencerminkan hubungan kompleks antara ikatan sosial, identitas politik, kondisi sosial-ekonomi, budaya, hingga mobilisasi massa dan politik transaksional.

Dalam masyarakat dengan tradisi demokrasi yang relatif baru, pilihan politik tidak hanya berdasarkan rasionalitas pribadi, tetapi juga dipengaruhi oleh jaringan sosial, tokoh yang dihormati, dan situasi lokal. Karisma calon secara signifikan mempengaruhi keputusan pemilih, sementara kebijakan publik, program rakyat, atau visi ekonomi hanya menjadi tambahan dalam konteks politis.

Menurut Mohammad Asfar (2006), pilihan politik dipengaruhi oleh faktor sosiologis, kepemimpinan, partai politik, dan agama. Abdul Munir Mulkhan menemukan bahwa pola pemilihan santri, abangan, dan priyayi yang sebelumnya dikategorikan oleh Geertz (1983) sedang berubah. Santri kini tidak lagi memilih partai Islam, bahkan beberapa ulama dalam birokrasi Orde Baru menjadi pengantar pesan tentang keberhasilan pemerintah.

Perubahan ini semakin terlihat dengan adanya transformasi digital yang pesat. Preferensi politik sekarang lebih dipengaruhi oleh teknologi informasi dan komunikasi yang langsung ditujukan kepada pemilih melalui handphone. Manuel Castells menjelaskan bahwa dalam masyarakat jaringan, otoritas politik sudah tidak lagi bergantung pada satu tokoh, melainkan terdistribusi melalui informasi yang dapat dibentuk melalui opini, buzzer, atau iklan politik.

Pemanfaatan teknologi, sosial media, dan kecerdasan buatan dalam kampanye politik memengaruhi persepsi masyarakat, sehingga membentuk tindakan dan perilaku politik. Buzzer politik yang direkayasa untuk mencitrakan calon dengan baik kadang lebih dipercaya daripada opinion leader seperti ulama, akademisi, atau tokoh masyarakat. Informasi dari sosial media menjadi faktor utama dalam membentuk perilaku memilih.

Penelitian Aspinall (2014) dan Tapsell (2021) menunjukkan bahwa digitalisasi kampanye dan personalisasi kandidat semakin memengaruhi pemilih, terutama generasi muda perkotaan yang terdidik dan kritis terhadap program politik. Selain itu, politik uang juga menjadi faktor penting dalam mempengaruhi keputusan pemilih, seperti yang diperlihatkan dalam penelitian Muhtadi (2020).

Perubahan selera pemilih tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sosiologis seperti agama, kharisma, suku, atau pendapatan, tetapi juga oleh digitalisasi kampanye, politik uang, pergeseran demografi, dan peningkatan pemahaman masyarakat tentang demokrasi yang substansial. Hal ini akan membentuk pola pemilih baru di Indonesia.

Salah satu perubahan penting dalam sistem pemilu adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan lokal. Model pemilu terpisah ini pernah dilakukan pada 1957-1958, ketika PKI berhasil meningkatkan perolehan suara hingga 27 persen dari pemilu 1955. Fealy (2003) menjelaskan bahwa kemenangan PKI menjadi kekhawatiran bagi PNI, Masyumi, dan NU. Daniel S. Lev (2009) mengaitkan sukses PKI dengan fokus mereka pada daerah-daerah, sementara partai lain terlalu terkonsentrasi di Jakarta.

Pelajaran dari pemilu 1957-1958 menunjukkan bahwa sistem dan desain pemilu memengaruhi perilaku memilih. Dengan putusan MK, pemilu nasional dan lokal akan diadakan dengan jarak waktu 2-2,5 tahun, sehingga hasil pemilu lokal bisa berbeda dengan nasional jika partai pemenang nasional tidak memenuhi kepentingan rakyat. Pemilih sekarang memiliki kesempatan lebih cepat untuk menghukum pemenang pemilu, dan ini akan menguji kemampuan partai dalam era pemilih yang lebih kompleks.

Dengan semakin beragamnya faktor yang memengaruhi perilaku memilih, ada kemungkinan munculnya jenis pemilih baru yang berbeda dari teori-teori lama, seperti contoh Nepal yang memilih Sushila Karki melalui aplikasi Discord.

Pemilihan di Indonesia terus berubah, tidak hanya dalam mekanisme tetapi juga dalam pola pikir dan perilaku pemilih. Dari influensi sosial dan lokal hingga digitalisasi kampanye, setiap elemen menjadi bagian dari dinamika yang kompleks. Pemilih kini memiliki kemampuan yang lebih besar untuk merespon dan memutuskan, memaksa partai dan kandidat untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan rakyat. Masa depan demokrasi Indonesia tergantung pada bagaimana para pemimpin dapat merespons transformasi ini dengan kebijakan yang benar dan inklusif.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan