KoaSipil Keberatan Vonis Ringan TNI Terlibat Kasus Penyiksaan Siswa SMP Medan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Dalam kasus penganiayaan siswa SMP berinisial MHS (15) di Medan, Sertu Riza Pahlivi menerima vonis penjara selama 10 bulan. Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari berbagai organisasi seperti Imparsial, YLBHI, dan Amnesty International Indonesia, mengkritik putusan ini sebagai hukuman yang terlalu ringan. Mereka berpendapat bahwa vonis ini bahkan lebih ringan dibandingkan dengan kasus-kasus pidana ringan lainnya, seperti pencurian. Koalisi juga menilai ada ketidaktransparansi dalam proses peradilan, terutama karena penilaian hakim tentang luka bekas korban yang dianggap tidak akurat.

Menurut Koalisi, kasus ini mengungkapkan masalah lebih dalam, yakni kejanggalan dalam peradilan militer. Mereka menyatakan bahwa proses hukum sering tertutup ketika pelaku berasal dari militer, perlakuan tidak setara terjadi, dan hukuman yang dijatuhkan tidak proporsional. Koalisi juga menambah bahwa keadilan sering dikorbankan demi melindungi citra dan solidaritas korps militer, yang disalahartikan sebagai loyalitas membabi buta.

Pada 20 Oktober 2025, Majelis Hakim Pengadilan Militer I-02 memvonis Sertu Riza Pahlivi dengan hukuman penjara 10 bulan. Vonis ini berdasarkan kealpaan yang menyebabkan kematian siswa. Selain itu, terdakwa diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp 12,7 juta kepada ibu korban, Lenny Damanik. Oditur previously meminta hukuman 1 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta atau 3 bulan penjara jika tidak dapat membayar. Sertu Riza memiliki waktu 7 hari untuk mengajukan banding.

Kasus ini menarik perhatian karena menunjukkan pola berulang kekerasan dari oknum TNI yang sering dianggap tidak proporsional. Koalisi meminta agar sistem peradilan lebih transparan dan adil, tanpa mempedulikan pangkat atau institusi pelaku.

Sementara itu, ada studi kasus yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan militer sering kali ditangani dengan ringan di Indonesia. Data menunjukkan bahwa 60% kasus kekerasan militer tidak sampai ke tahap pengadilan atau dibenarkan dengan alasan keamanan. Ini menguatkan kecemasan Koalisi mengenai ketidaksetaraan dalam peradilan.

Keadilan harus menjadi prioritas, bukan citra atau solidaritas korps. Setiap kasus kekerasan, apapun latar belakang pelakunya, harus dihadapkan pada hukum yang sama. Hanya dengan demikian, masyarakat akan merasa terjaga haknya dan percaya pada sistem peradilan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan