Ukraina Masih Menjadi Lumbung Pangan Global Meski Dihadang Invasi Rusia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ukraina telah lama dikenal sebagai “lumbung pangan dunia” karena ketidakterbatasan sumber daya pertaniannya. Dengan area pertanian mencapai 41,3 juta hektare, mayoritasnya terdiri dari tanah hitam yang sangat subur, negara ini mampu menghasilkan panen melimpah dengan input yang relatif sedikit. Historisnya, Ukraina telah menjadi penyuplai pangan utama bagi Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet, serta pasar global setelah kemerdekaan pada 1991, khususnya untuk wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia.

Sebelum serangan besar-besaran Rusia pada Februari 2022, sektor pertanian Ukraina berkontribusi 41% dari pendapatan ekspor negara, bernilai sekitar $27,8 miliar. Perang tersebut tidak hanya merusak ekonomi domestik, tetapi juga mengancam ketahanan pangan global. Rusia menduduki sebagian besar lahan pertanian, sementara blokade laut, serangan rudal, dan ranjau di Laut Hitam menghambat pengiriman ekspor utama Ukraina. Dalam tiga bulan pertama tahun 2022, volume ekspor turun lebih dari 90% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menyebabkan harga pangan global naik dan memperburuk krisis kelaparan di beberapa negara.

Ukraina sebelumnya menyumbang 8% ekspor gandum dunia, 13% jagung, dan 12% jelai, serta 40-50% minyak bunga matahari. Penurunan pasokan dan ketidakpastian rute Laut Hitam memicu lonjakan harga komoditas hingga $400 per ton, membuat bahan pokok menjadi sulit diakses di berbagai negara. Produksi gandum pun merosot 29% pada musim 2022/23, dengan 22% lahan tidak ditanami karena okupasi Rusia, ranjau, dan kekurangan tenaga kerja.

Kekuatan Ukraina berhasil menekan armada Rusia di Laut Hitam dengan bantuan drone laut dan rudal anti-kapal dari Barat, termasuk tenggelamnya kapal Moskva pada April 2023. Inisiatif Gandum Laut Hitam yang diluncurkan PBB dan Turki pada Juli 2022 berhasil mengeksport 33 juta ton gandum hingga Juli 2023. Selain itu, Uni Eropa membuka jalur alternatif seperti Solidarity Lanes melalui kereta, Sungai Danube, dan rute darat. Kombinasi upaya tersebut memulihkan ekspor Ukraina hingga 64 juta ton pada musim 2023/24, mencapai 75% level sebelum perang.

Namun, stabilitas masih jauh dari ideal. Pada Juli 2024, ekspor pertanian Ukraina turun 38% dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya, sebagian karena serangan Rusia yang meningkat terhadap pelabuhan Laut Hitam. Proyeksi untuk musim 2025/2026 juga menunjukkan penurunan panen 10% menjadi sekitar 51 juta ton. Ukraina tetap menjadi penyuplai utama gandum untuk Program Pangan Dunia (WFP), yang memperoleh 80% pasokannya dari Ukraina pada 2023 untuk membantu 400 juta orang di negara rawan pangan.

Sementara itu, Ukraina menghadapi tantangan lain, seperti kerugian lebih dari $80 miliar akibat perang, 7,3 juta penduduknya yang masih kerawan pangan, dan biaya rekonstruksi infrastruktur pertanian yang mencapai $55,5 miliar. Pembatasan impor UE terhadap beberapa produk pertanian Ukraina sejak 2024 juga menambah ketegangan dengan negara tetangga seperti Polandia, Slovakia, dan Hungaria. Petani Ukraina terus menghadapi bahaya dari ranjau darat, serangan drone, dan rudal, serta dampak perubahan iklim seperti suhu naik dan kekeringan. Shpygotska mengingatkan bahwa perdamaian dan pembersihan ranjau adalah kunci agar lahan pertanian dapat kembali digunakan.

Meskipun masih berjuang, Ukraina tetap menjadi pilar ketahanan pangan global. Dukungan internasional dalam mencapai perdamaian dan memastikan aliran perdagangan akan menjamin bahwa hasil pertanian Ukraina terus memberikan manfaat bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan