Angka kekerasan anak di Kota Tasikmalaya mencapai 170 kasus dalam waktu kurang dari setahun

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Selama periode Januari hingga awal Oktober 2025, pihak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kota Tasikmalaya telah mencatat sejumlah 170 insiden kekerasan yang melibatkan perempuan dan anak.

Angka tersebut mengungkapkan bahwa upaya perlindungan anak masih merupakan tantangan besar yang memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, khususnya dalam ranah pendidikan.

Hj Lusi Rosdianti SPd MPd, yang menjabat sebagai Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di DPPKBP3A Kota Tasikmalaya, mengemukakan poin tersebut setelah mengikuti kegiatan sosialisasi Stop Bullying di SDN Dadaha, Kota Tasikmalaya, pada hari Kamis tanggal 16 Oktober 2025.

Terkait hal ini, Lusi menyebutkan bahwa 170 kasus yang dicatat meliputi pelanggaran seperti perundungan, kekerasan fisik, psikis, hingga bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat siber. Beberapa di antaranya dilaporkan langsung oleh korban atau pihak sekolah, sementara sisanya berasal dari laporan masyarakat dan lembaga pendamping.

Data tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak dan perempuan masih sering terjadi di berbagai ruang sosial, termasuk di lingkungan pendidikan. Menurut Lusi, sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan ramah bagi anak. Edukasi seperti yang diselenggarakan menjadi penting agar anak-anak dapat mengenali tanda-tanda kekerasan dan memiliki keberanian untuk melapor.

Kegiatan sosialisasi Stop Bullying yang diikuti oleh ratusan siswa kelas atas di SDN Dadaha menggunakan metode interaktif dan permainan edukatif. Melalui pendekatan ini, para peserta diajak untuk memahami bahwa perundungan, baik bentuknya verbal maupun nonverbal, merupakan bentuk kekerasan dengan dampak jangka panjang terhadap kepercayaan diri dan kesehatan mental korban.

Yanti Krisyana Herman Suryatman, Ketua DWP PMD Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa kegiatan serupa sangat penting sebagai upaya pencegahan sejak dini. Menurutnya, pembangunan budaya saling menghargai harus dimulai dari lingkungan sekolah dan keluarga. Anak-anak perlu belajar empati dan memahami perbedaan. Biasanya, bullying terjadi karena kurangnya kesadaran bahwa setiap anak memiliki keunikan dan hak untuk dihormati.

Yanti juga menekankan bahwa peran orang tua dan guru sangat penting dalam menciptakan suasana belajar yang mendukung perkembangan anak secara holistik. Pendampingan emosional, komunikasi terbuka, serta keteladanan adalah kunci dalam membentuk karakter anak yang berani bertingkah laku tanpa menyakiti orang lain.

Di era digital saat ini, masalah bullying semakin kompleks dengan adanya bentuk-bentuk baru kekerasan, termasuk siberbullying. Ini membutuhkan upaya lebih intensif dari semua pihak untuk mencegah dan menyikapi permasalahan ini. Pendidikan dan kesadaran masyarakat menjadi kunci utama dalam mengatasi isu kekerasan, baik di sekolah maupun di masyarakat.

Masyarakat harus lebih proaktif dalam mendukung upaya anti-bullying, baik melalui edukasi, pengawasan, maupun dukungan emosional bagi korban. Dengan berpartisipasi aktif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan penuh harapan bagi generasi muda.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan