Bandul kenaikan APBD terbalik, pemerintah pusat ambil alih keuangan daerah

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Selama lebih dari 20 tahun, desentralisasi fiskal telah menjadi komponen vital dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Seperti sungai yang menuju sawah, uang ini mendukung berbagai kebutuhan publik, mulai dari upah guru, operasional puskesmas, hingga perbaikan infrastruktur jalan.

Semua dana tersebut berasal dari sumber utama, yaitu transfer ke daerah (TKD). Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2026, terjadi perubahan signifikan. Jumlah TKD yang semula mencapai Rp919,9 triliun pada 2025, akan turun menjadi sekitar Rp693 triliun.

Banyak pihak meragukan keputusan ini, menganggapnya sebagai tanda potensial sentralisasi kembali. Pemerintah pusat menanggapi dengan menjelaskan bahwa dana masih akan dialokasikan ke daerah, namun dalam bentuk proyek yang dikelola oleh kementerian atau lembaga pusat. Tujuan utama adalah meningkatkan efisiensi dan keseragaman layanan publik.

Perubahan ini berarti pemerintah pusat akan memiliki kendali yang lebih besar atas alokasi dana, sementara pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana. Dalam teori, pendekatan ini dapat meningkatkan standarisasi, tetapi dalam praktiknya, mungkin justru memperluas kesenjangan antara kebijakan pusat dan kebutuhan masyarakat.

Anggaran tidak hanya tentang angka, melainkan juga tentang sistem insentif yang menentukan kontrol atas pelayanan publik. TKD, terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), telah menjadi sumber pendanaan untuk kebutuhan dasar seperti transportasi medis, pemeliharaan fasilitas kesehatan, dan infrastruktur sekolah.

Ketika ruang fiscal daerah berkurang drastis, pemerintah daerah sering terpaksa memilih untuk memotong biaya operasional, menunda proyek, atau mengurangi jam operasional layanan.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa daerah yang paling terpengaruh oleh penurunan TKD adalah kawasan dengan perekonomian mulai membaik setelah pandemi. Studi mengungkapkan bahwa pemotongan dana ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal hingga 15% dalam waktu tiga tahun.

Sebagai contoh, beberapa kabupaten di Jawa Barat mengeluhan keterbatasan dana untuk perbaikan jalan dan pembangunan sarana pendidikan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjang terhadap kualitas pelayanan publik.

Pemerintah pusat mengaku sedang mempertimbangkan evaluasi terhadap skema alokasi baru ini, dengan harapan dapat menemukan keseimbangan antara efisiensi dan kebutuhan wilayah. Analisis terkini menunjukkan bahwa daerah dengan pendapatan sendiri yang tinggi lebih mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini dibandingkan daerah yang bergantung tinggi pada TKD.

Kesimpulan: Perubahan dalam alokasi dana pemerintah pusat ke daerah bukan hanya soal angka, tetapi juga soal kekuasaan dan tanggung jawab dalam memastikan setiap warga mendapatkan layanan yang setara. Masyarakat perlu tetap waspada dan memantau bagaimana sistem ini akan berdampak pada kualitas hidup sehari-hari.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan