Hukuman Mati: Jejak Kelam dan Konsekuensi Nyata

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Perempuan yang bersifat sebagai warga negara Indonesia (WNI) tersebut tumbuh besar di luar negeri. Ia menikah dengan seorang pria Indonesia yang kemudian memasukkannya ke dalam dunia kejahatan. Dalam ruang sidang, ia kesulitan berbicara atau memahami bahasa Indonesia, namun persidangan berlangsung tanpa adanya penerjemah. Hakim akhirnya memutuskan hukuman mati untuknya.

Menurut Awaludin Muzaki dari staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat, wanita tersebut terjebak dalam jaringan peredaran narkoba karena suaminya. Sebelumnya, LBH Masyarakat menyangka keterangan wanita tersebut karena ia tidak diberi penerjemah yang baik saat persidangan tahun 2007. Namun, ketika diperiksa kesehatan mentalnya, psikolog mencatat banyak kata dalam bahasa Indonesia yang tak ia mengerti meski sudah disederhanakan.

Awaludin mengungkapkan bahwa pemeriksaan kesehatan dilakukan lisan dengan bantuan pihak lapas. Ia mengkritik bahwa dalam kasus ini, penerjemah seharusnya disediakan selama persidangan, tapi malah diabaikan. Ia pun mengemukakan kecurigaan terhadap proses persidangan tersebut, apakah benar-benar sesuai prinsip peradilan yang adil. Apakah wanita tersebut memperoleh hak yang sama seperti yang dijamin dalam konstitusi? Hal ini menimbulkan kemungkinan pelanggaran sejak pemeriksaan di kantor polisi hingga ruang sidang, khususnya soal hak korban untuk mendapatkan penerjemah.

Wanita tersebut merupakan salah satu dari sembilan terpidana mati kasus narkoba yang saat ini didampingi LBH Masyarakat. Mereka hanya menunggu waktu tanpa pasti kapan akan masuk daftar eksekusi mati.

Banyak terpidana mati, kata Awaludin, terlibat dalam kejahatan narkoba. Sayangnya, Undang-Undang Narkotika tidak membedakan peran masing-masing pelaku. Jadi, seseorang yang menjadi korban dan dijadikan kurir, misalnya, bisa dihukum mati sama seperti bandar narkoba. Awaludin menjelaskan bahwa undang-undang ini tidak membedakan antara pengedar, kurir, perantara, atau korban. Semua dianggap sama di bawah Pasal 114, perbedaannya hanya pada berat barang bukti. Semakin berat buktinya, semakin dituding sebagai pengedar.

Selain hak penerjemah, LBH Masyarakat juga menemukan pelanggaran terkait hak kesehatan mental, hak hukum, dan pemberitahuan mendadak tentang eksekusi hukuman mati yang tidak terpenuhi.

Dalam kasus ini, terlihat adanya keterbatasan dalam sistem peradilan yang mengakibatkan penghakiman yang tidak adil. Pengalaman ini mengingatkan kita bahwa hak-hak dasar, seperti penerjemah yang memadai, sangat penting untuk memastikan semua pihak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Di sisi lain, undang-undang narkoba perlu ditinjau kembali agar tidak membebankan korban yang sebenarnya. Akhirnya, semua pihak harus bekerja bersama untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan manusiawi, tempat setiap individu, tanpa memandang latar belakangnya, diberikan kesempatan yang sama untuk membela diri.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan