Eks Panitera PN Jakarta Mencurahkan Uang Suap Rp1,5 Miliun untuk Perjalanan Keluarga ke Singapura

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Wahyu Gunawan, mantan Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mengakui telah menerima sejumlah USD 150 ribu yang terkait dengan kasus suap pengurusan vonis lepas dalam perkara korporasi minyak goreng (migor). Uang tersebut digunakan untuk membayar sewa tanah, sewa rumah, serta biaya liburan keluarga. Pengakuan ini disampaikan saat Wahyu dijadikan saksi mahkota dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 8 Oktober 2025.

Dalam sesi pemeriksaan, jaksa menanyakan jumlah uang yang diterima Wahyu. Dengan tegas, Wahyu menjawab bahwa ia menerima USD 150 ribu. Saat ditanya tentang penggunaan uang tersebut, Wahyu menjelaskan bahwa sebagian dari uang itu telah digunakan untuk pembayaran sewa tanah dan rumah. Selain itu, sebagian lagi disita oleh penyidik dan ada juga yang digunakan untuk liburan bersama keluarga.

Kasus ini melibatkan majelis hakim yang memberikan vonis lepas kepada terdakwa korporasi migor, dipimpin oleh hakim Djuyamto, dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa bahwa ketiga hakim tersebut, bersama dengan mantan Ketua PN Jakarta Selatan dan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta Wahyu Gunawan, menerima suap sebesar Rp 40 miliar terkait vonis lepas tersebut. Uang suap tersebut diduga diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei, pengacara terdakwa korporasi migor.

Menurut surat dakwaan jaksa, dari total uang suap Rp 40 miliar, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Wahyu Rp 2,4 miliar, Djuyamto Rp 9,5 miliar, sedangkan Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

Dari kasus ini, terlihat betapa pentingnya integritas dalam sistem peradilan. Suap dan korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengganggu keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Kejadian seperti ini mengingatkan semua pihak, terutama pejabat negara, untuk selalu menjaga tata kelola yang benar dan beretika dalam menjalankan tugas. Kesadaran kolektif dan kerja sama antara instansi pengawas dan masyarakat adalah kunci untuk membangun sistem peradilan yang lebih transparan dan bebas dari korupsi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan