Remaja yang Melakukan Cuci Darah Sejak Usia 8 Tahun Tetap Berjuang Hidup Setelah Transplantasi

Jakarta – Angka transplantasi ginjal di Indonesia masih sangat rendah, jauh ketinggalan dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Padahal, prosedur ini dianggap terapi paling efektif untuk meningkatkan harapan dan kualitas hidup pasien dengan gangguan ginjal kronis.

Kisah NF, seorang remaja berusia 16 tahun dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, menggambarkan betapa berharganya transplantasi ginjal. Dia didiagnosis gagal ginjal kronis ketika berusia delapan tahun akibat kondisi bawaan renal agenesis. Sejak saat itu, hidupnya terstruktur oleh rutinitas medis yang memerlukan ketahanan mental.

“Anakku sudah berjuang sejak usia delapan tahun,” cerita ibunda NF.

NF pernah melakukan hemodialisis, yang mengurangi waktu untuk belajar dan bermain. Kemudian dia beralih ke metode CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), yang harus dilakukan lima kali sehari selama sekitar 13 bulan. Pertolongan besar datang pada April 2019, ketika NF mendapatkan ginjal dari ayahnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Transplantasi tersebut tidak hanya menyelamatkan hidupnya, tetapi juga membuka kembali kesempatan untuk belajar, belajar biola, dan bahasa Mandarin.

Enam tahun kemudian, meskipun masih harus meminum obat imunosupresan sepanjang hidupnya, kehidupan NF jauh lebih stabil dibandingkan masa awal penyakitnya.

Pasien pascatransplantasi wajib mengonsumsi obat imunosupresan seumur hidup agar ginjal baru tidak ditolak tubuh. Inilah tantangan baru, terutama bagi pasien di luar kota besar seperti NF di Tanjung Pinang. Setelah transplantasi pada 2019, obat yang dibutuhkan NF sempat tidak tersedia di wilayahnya, menyebabkan kekhawatiran bagi keluarganya.

Ibu NF mengakui kekhawatiran mereka jika obat harus diganti, karena pernah terjadi kasus pasien anak pascatransplantasi di komunitas yang mengalami efek samping setelah mencoba obat baru. “Kami khawatir perubahan ini dapat memengaruhi kondisi tubuhnya, karena di komunitas ada yang mengalami efek samping setelah mencoba obat baru,” kata ibunya.

NF juga harus menjalani pemeriksaan kadar tacrolimus, obat utama untuk mencegah penolakan ginjal, secara berkala, minimal dua kali sebulan. Pemeriksaan ini tidak ditanggung BPJS Kesehatan di Tanjung Pinang dan biayanya melebihi satu juta rupiah setiap kali tes.

Kisah NF membuktikan bahwa transplantasi bukan akhir perjuangan, tetapi awal dari perjalanan baru. Agar anak-anak seperti NF tidak hanya bertahan hidup, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat, pemeriksaan, dan layanan medis yang memadai di seluruh wilayah. Hidup pascatransplantasi adalah anugerah sekaligus perjuangan. Mereka berharap pemerintah lebih serius dalam memastikan ketersediaan obat imunosupresan yang stabil dan pembiayaan pemeriksaan penting seperti tacrolimus, terutama di daerah terpencil.

Di era modern ini, keterbatasan akses kesehatan masih menjadi pembatas utama. Masyarakat harus sadar bahwa perjuangan pasien transplantasi tidak berhenti setelah operasi. Dukungan sosial, akses obat, dan dukungan medis harus menjadi prioritas agar mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Setiap usaha untuk memperbaiki sistem kesehatan adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih adil untuk semua.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page