Seafood: Analisis Kaitannya dengan Ekonomi dan Politik

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Produk perikanan menjadi salah satu komoditas utama dalam perdagangan global, meliputi sektor perikanan tangkap dan budidaya. Menurut OECD pada 2025, konsumsi seafood di dunia diperkirakan akan meningkat 11% hingga mencapai 196 metrik ton pada 2034. Namun, seperti yang disampaikan oleh Liam Campling dan Elizabeth Havice (2018) dalam artikel mereka The Global Environmental Politics and Political Economy of Seafood Systems, perdagangan ini tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan pangan, tetapi juga dengan politik global, ekonomi internasional, dan isu lingkungan.

Untuk memahami kompleksitas ini, artikel ini membahas perspektif ekonomi politik perdagangan seafood global. Menurut Caporaso dan Levine (1992) dalam Theories of Political Economy, hubungan antara politik dan ekonomi saling berdampak. Politik menentukan bagaimana sumber daya seharusnya dibagi, sementara ekonomi memberikan batasan dan peluang bagi praktik politik. Dalam konteks ini, sistem perikanan dunia menjadi arena di mana negara, korporasi, dan rezim internasional berinteraksi, dengan dampak signifikan pada lingkungan dan keadilan sosial.

Tiga aspek utama yang perlu diperhatikan dalam perdagangan seafood adalah struktur pasar global, peran aktor dan distribusi kekuasaan, serta implikasi ekologis dan sosial. Ini menunjukkan bahwa seafood tidak hanya bisa dipahami dari sisi pasar atau ekologi, tetapi harus dilihat sebagai sistem ekonomi politik global.

Produk perikanan menjadi komoditas ekonomi politik yang diproduksi, diperjualbelikan, dan dikonsumsi dalam sistem yang dipengaruhi oleh perjanjian dagang, regulasi lingkungan internasional, dan dinamika geopolitik. Politik dan ekonomi saling mempengaruhi, di mana politik memberikan legitimasi dan aturan, sementara ekonomi menggerakkan distribusi nilai.

Dalam konteks ini, perikanan memainkan peran penting dalam perdagangan internasional yang diatur oleh WTO dan perjanjian regional. Pengelolaan sumber daya laut juga dilindungi oleh UNCLOS, RFMO, FAO, dan berbagai rezim multilateral. Selain itu, ada kontestasi geopolitik atas perikanan di laut lepas, yang menunjukkan bagaimana sumber daya dan lingkungan menjadi objek perebutan politik internasional.

Oleh karena itu, produk perikanan tidak hanya sebagai makanan laut, tetapi juga sebagai alat distribusi kekuasaan di tingkat global. Aktor kunci yang membentuk perdagangannya meliputi negara maju, negara berkembang, perusahaan transnasional, organisasi internasional, dan masyarakat sipil. Negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang menjadi konsumen utama dan pengatur standar kualitas global. Mereka sering menetapkan aturan impor ketat, yang memaksa negara berkembang mengikuti standar teknis tanpa posisi tawar yang seimbang. Kasus terbaru adalah penurunan tarif impor produk perikanan asal Indonesia ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19% oleh Presiden Donald Trump.

Negara berkembang mayoritas berperan sebagai produsen dan eksporter bahan mentah. Meskipun menyuplai sebagian besar pasokan ikan di dunia, nilai tambah ekonomi lebih banyak dialiri ke negara konsumen. Posisi tawar mereka lemah karena ketergantungan pada ekspor ke pasar negara maju.

Perusahaan transnasional mendominasi rantai pasok, dari pengolahan hingga distribusi. Posisi ini memungkinkan mereka mengendalikan harga dan arus komoditi hasil laut, sehingga keuntungan ekonomi terkonsentrasi pada pihak swasta global, bukan komunitas nelayan di negara produsen.

Organisasi internasional seperti FAO, RFMO, dan rezim lingkungan berusaha mengatur eksploitasi sumber daya laut. Namun, efektivitasnya sering terbatas oleh kepentingan negara dan korporasi besar. Masyarakat sipil dan NGO berperan penting dalam mengadvokasi keberlanjutan, keadilan sosial, dan melawan praktik eksploitatif seperti perikanan ilegal, kerja paksa, dan overfishing.

Rantai pasok seafood panjang dan kompleks. Mulai dari nelayan atau pembudidaya ikan, produk mengalir ke pedagang lokal, kemudian ke pabrik pengolahan, pedagang besar (eksportir), dan akhirnya ke konsumen global. Panjangnya rantai ini menciptakan ketidaksetaraan ekonomi. Negara dan perusahaan dengan modal besar di bagian hilir (pengolahan, distribusi, dan retail) memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan produsen primer, khususnya nelayan kecil di negara berkembang.

Seafood juga menjadi komoditas yang rentan menimbulkan krisis ekologi, akibat faktor permintaan, eskalasi produksi, dan transaksi perdagangan yang terus meningkat. Konsekuensinya adalah overfishing, bycatch, degradasi habitat, deplesi sumber daya, pencemaran limbah, dan sampah. Perdagangan seafood juga menyebabkan situasi paradoks: di satu sisi, rezim internasional berusaha menjaga keberlanjutan, tetapi di sisi lain, logika kapitalisme global mendorong eksploitasi berlebihan untuk memenuhi permintaan pasar. Politik seharusnya membatasi eksploitasi demi keberlanjutan, tetapi seringkali melemah karena tekanan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Dinamika sosial yang tampak dalam transaksi perdagangan seafood adalah nelayan kecil di negara berkembang yang menanggung beban terberat dari struktur global yang tidak seimbang. Tantangan yang dihadapi termasuk terpinggirkan oleh perikanan industri besar, harga jual komoditi ikan rendah, kehilangan akses sumber daya, dan dampak ekologis dari eksploitasi berlebihan. Selain itu, isu eksploitasi buruh di sektor perikanan juga muncul, termasuk kerja paksa di kapal penangkap ikan. Ini menunjukkan bahwa seafood tidak hanya terkait dengan perdagangan dan ekologi, tetapi juga dengan hak asasi manusia. Distribusi seafood menciptakan ketidakadilan ganda, di mana nelayan kecil tidak hanya tereksploitasi secara ekonomi, tetapi juga kehilangan akses terhadap sumber protein utama yang penting bagi ketahanan pangan lokal.

Dengan demikian, seafood bukan hanya komoditi pangan, tetapi juga komoditi strategis yang terkait dengan keamanan pangan, perdagangan internasional, dan politik perikanan. Perikanan laut lepas, misalnya, sering menjadi arena perebutan akses dan kontrol antarnegara, mencerminkan kepentingan geopolitik yang lebih luas.

Sirkulasi seafood dari tingkat pasar lokal ke pasar global membutuhkan desain tata niaga yang memungkinkan hubungan perdagangan internasional yang transparan dan berkeadilan. Namun, regulasi internasional sering tidak menguntungkan negara produsen. Standar kualitas dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh pasar utama seperti Uni Eropa dan AS sering menjadi hambatan bagi negara berkembang. Perjanjian dagang internasional mendorong liberalisasi yang lebih menguntungkan negara konsumen besar, sementara negara produsen semakin tergantung pada ekspor. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan global dalam tata niaga.

Untuk mengatasi masalah keadilan ini, tata niaga seafood harus bergeser dari efisiensi pasar menuju keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan adalah penguatan regulasi internasional untuk membatasi overfishing, redistribusi nilai tambah agar negara berkembang dan nelayan kecil memperoleh bagian yang adil, transparansi rantai pasok untuk melawan perikanan ilegal, pengakuan hak-hak buruh untuk mencegah eksploitasi, dan pengakuan hak perikanan tradisional dan adat untuk menutup aktivitas perampasan akses sumber daya pada nelayan lokal.

Produk perikanan adalah contoh nyata bagaimana politik komoditi menentukan struktur ekonomi global. Perdagangan dan konsumsi seafood tidak bisa dipahami hanya sebagai transaksi pasar, melainkan sebagai proses ekonomi yang melibatkan distribusi kekuasaan, nilai, dan sumber daya. Tanpa perubahan mendasar dalam tata niaga global, sistem seafood akan terus menghadirkan paradoks: menyediakan pangan bagi miliaran orang, namun dalam waktu yang sama memperkuat ketimpangan ekonomi, merusak ekosistem, dan mengeksploitasi masyarakat rentan. Oleh karena itu, membangun tata niaga seafood yang berkeadilan dan berkelanjutan bukan hanya agenda lingkungan, tetapi juga agenda ekonomi politik global.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan