Warga Kehilangan Hak Kelola Lahan di Dua Desa Sukamakmur, Bogor

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Dalam Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dua desa di Kecamatan Sukamakmur menjadi pusat perhatian setelah dilelang. Salah seorang warganya, Ami, mengaku bahwa tanah keluarga seluas 2.000 meter persegi yang telah dimilikinya sejak 1974 justru tersita. “Tanah milik saya pun ikut tersita,” kata Ami ketika ditemui wartawan di tempat kejadian, Rabu (2/10/2025).

Ami menjelaskan bahwa tanah tersebut telah menjadi milik keluarga selama berdekade-dekade, namun tak bisa ditingkatkan statusnya menjadi hak milik resmi. “Keluarga saya sudah memiliki tanah ini sejak tahun 1974, bahkan ada nama kakak saya tercatat sebagai pemilik,” paparnya. Bagaimanapun, karena status tanah masih tersita, Ami tidak dapat melakukan pengembangan atau pengelolaan bebas atas lahan tersebut. “Ada banyak akta jual beli, tapi tak bisa naik menjadi sertifikat. Bahkan melalui program PTSL pemerintah pun tak bisa,” ungkapnya.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, pernah mengunjungi kedua desa terlibat ini, Sukaharja dan Sukamulya. Kedua desa tersebut sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. “Desa Sukaharja sudah ada sejak 1930, dan masyarakat telah berdiam di sini lama. Namun, ada pengusaha dari Gunung Batu yang mengagunkan tanah di sini,” jelas Yandri. Ketika kredit tersebut macet, tanah tersebut pun tersita. “Dua desa ini, Sukamulya seluas 337 hektare dan Sukaharja sekitar 451 hektare, rata-rata sebesar 800 hektare yang tersita,” tambahnya.

Yandri menyalahkan adanya kerusakan hukum yang membuat kasus ini terjadi. “Masyarakat yang sebenarnya memiliki hak atas tanah ini terganggu. Ada indikasi adanya kongkalikong dan ketidaktransparasan yang memungkinkan pengusaha menggadaikan tanah ini,” katanya. Kasus ini mengungkapkan tantangan hukum dan sosial yang dihadapi warga lokal akibat penyalahgunaan hak tanah.

Data riset terbaru terhadap pengelolaan tanah di Indonesia menunjukkan bahwa kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Bogor. Menurut Lembaga Survei Sosial, sekitar 15% permasalahan tanah di daerah pedesaan berakar pada keterlibatan pihak ketiga yang tidak transparan. Studi ini juga menunjukkan bahwa program pemerintah seperti PTSL sering kali gagal diimplementasikan akibat birokrasi yang rumit dan korupsi lokal.

Sebuah analisis unik dan simplifikasi dari kasus ini mengungkapkan betapa pentingnya transparansi dalam pengelolaan tanah. Segera ada kebutuhan reformasi yang mendalam di sektor ini, terutama dalam memastikan kejelasan hak milik dan melindungi hak masyrakat lokal. Studi kasus dalam infografis menunjukkan bahwa kurangnya kejelasan hukum menjadi salah satu penyebab utama konflik tanah di Indonesia.

Kasus ini juga menegaskan bahwa keberanian masyarakat dalam berjuang untuk mendukung hak mereka sangat penting. Warga seharusnya melakukan advokasi lebih keras agar pemerintah lebih serius dalam membenahi sistem pengelolaan tanah yang adil dan transparan. Langkah-langkah konkret seperti pengawasan publik dan dukungan hukum menjadi kunci untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan