Thailand Siapkan Strategi Baru untuk Menghadapi Krisis Ekonomi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, pada hari Senin (29/9/2025) menyampaikan rencana kebijakan pemerintah di depan parlemen, dengan menekankan upaya pemulihan ekonomi nasional yang sedang mengalami ketidakstabilan. Dalam pidatonya, Anutin menekankan bahwa pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah cepat untuk mengatasi berbagai masalah, meskipun statusnya sebagai pemerintahan minoritas dan menggunakan anggaran yang diwariskan dari kabinet sebelumnya.

“Dengan waktu yang terbatas dan sumber daya yang tidak optimal, serta kondisi sebagai pemerintahan minoritas, pemerintah harus segera menanggapi tantangan yang dihadapi rakyat,” ujar Anutin di hadapan anggota parlemen. Beberapa langkah yang akan dilakukan termasuk mengendurkan beban hidup, mengurangi angka utang rumah tangga, dan mendorong kembali sektor pariwisata dalam negeri. Thailand saat ini menghadapi beberapa tantangan ekonomi, seperti tarif dari Amerika Serikat, kuatnya nilai tukar baht, penurunan konsumsi domestik, dan tingkat utang rumah tangga yang tinggi.

Untuk membantu warga yang terancam utang, Anutin mengumumkan rencana bantuan untuk individu dengan utang tidak lebih dari 100.000 baht (setara dengan sekitar Rp48,5 juta). Selain itu, pelaku usaha kecil juga akan mendapatkan dukungan likuiditas hingga 1 juta baht (sekitar Rp420 juta). Pemerintah juga berencana meluncurkan program subsidi bersama (co-payment) sebesar 47 miliar baht (sekitar Rp19,74 triliun), di mana 60 persen biaya pembelian makanan dan kebutuhan pokok akan ditanggung oleh pemerintah bagi warga yang memenuhi syarat.

Memasuki tahun 2025, Thaiandia diproyeksikan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi setelah hanya mencapai 2,5 persen pada 2024. Badan perencanaan negara memprediksi pertumbuhan hanya akan mencapai 1,8 hingga 2,3 persen, dengan kemungkinan penurunan lebih pesat di paruh kedua tahun ini akibat dampak tarif Amerika Serikat terhadap ekspor. Selain isu ekonomi, Anutin juga menjelaskan bahwa pemerintah akan berfokus pada penyelesaian sengketa wilayah dengan Kamboja, penanganan perjudian ilegal, serta pengembangan sistem peringatan dini untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana.

Namun, kabinet Anutin memiliki waktu terbatas untuk mengimplementasikan kebijakan prioritas. Pekan lalu, ia mengumumkan rencana untuk membubarkan parlemen pada akhir Januari 2026, yang berarti pemilu umum kemungkinan akan digelar pada Maret atau awal April tahun depan. Survey terbaru dari National Institute of Development Administration (NIDA) menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap Anutin naik dari 9,6 persen menjadi 20,4 persen. Namun, ia tetap berada di bawah pemimpin oposisi utama, Natthaphong Ruengpanyawut, dari Partai Rakyat, yang meraih 22,8 persen dukungan.

Anutin, yang berusia 58 tahun, didukung oleh kekayaan keluarga dan basis dukungan yang kuat di wilayah Isan, timur laut Thailand, tempat partainya, Bhumjaithai, mendapatkan banyak dukungan dari populasi pedesaan. Keahlian utamanya adalah kemampuannya untuk menavigasi politik Thailand yang terpolarisasi, yang selama dua dekade terbagi antara pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dan pemerintahan militer-kerajaan. Partai Bhumjaithai dikenal sebagai “broker kekuasaan yang fleksibel,” menurut analisis ahli studi Thailand Napon Jatusripitak dan Suthikarn Meechan. Mereka menyatakan bahwa partai ini dikenal karena kurangnya komitmen ideologis, taktik agresif dalam merekrut anggota parlemen, dan kemampuan untuk membentuk aliansi secara realistis.

Dengan semangat yang tinggi, Anutin harus segera memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengubah visi menjadi aksi nyata. Thailand menghadapi era baru, dan setiap langkah yang diambil akan membuktikan kebijakan apa yang benar-benar berdampak positif bagi rakyat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan