Protes Massal di Ekuador Menewaskan 17 Demonstran dan Menyandera 17 Tentara

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Protes massa di Ekuador, bagian utara, pada Minggu (28/9) waktu setempat, berakhir tragis dengan satu korban jiwa. Dalam aksi yang diprakarsai untuk menolak kenaikan harga bahan bakar, 17 anggota militer tiba-tiba menjadi sandera. Konaie, organisasi hak masyarakat adat terbesar di negara ini, melaporkan pada Senin (29/9/2025) bahwa mereka telah memulai aksi mogok nasional tanpa batas waktu sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Presiden Daniel Noboa yang memangkas subsidi bahan bakar.

Harga solar di daerah ini naik drastis dari US$ 1,80 (setara Rp 30 ribu) menjadi US$ 2,80 (Rp 46 ribu) per galon. Dalam ukuran per liter, perubahan tersebut terasa lebih mendalam: dari 48 sen (Rp 8.017) menjadi 74 sen (Rp 12.359). Ini menjadi beban berat bagi masyarakat, khususnya ketika sekitar sepertiga penduduk Ekuador hidup di bawah garis kemiskinan.

Efrain Fuerez, anggota komunitas adat berusia 46 tahun, menjadi korban tewas dalam insiden ini. Menurut Conaie, Fuerez “ditembak tiga kali” sebelum akhirnya wafat di rumah sakit Cotacachi, lokasi yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Quito, ibu kota. Video yang tersebar melalui media sosial X menunjukkan adegan tentara menendang dua warga, salah satu yang terluka dan lainnya berusaha membantu. “Kami menuntut Noboa mempertanggungjawabkan diri, kami meminta penyelidikan cepat dan keadilan untuk Efrain serta komunitasnya,” ujar Conaie.

Pihak berwenang belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kematian ini. Namun, kantor kejaksaan Ekuador mengatakan akan melakukan penyelidikan terhadap “dugaan kematian” tersebut. INREDH, organisasi hak asasi manusia, mengecam penggunaan kekerasan yang “mematikan dan tidak sah” dalam kasus ini.

Di daerah yang sama, militer Ekuador mengaku 12 anggota mereka terluka dan 17 lainnya disandera. Menurut laporan mereka, tentara sedang mengawal konvoi makanan yang diserang oleh “kelompok teroris” di Cotacahi. Menteri pemerintahan, Zaida Rovira, menyebut insiden ini sebagai “penyergapan pengecut oleh kelompok kriminal teroris”. Presiden Noboa sendiri terus berusaha menenangkan situasi, termasuk dengan mendeklarasikan keadaan darurat di delapan provinsi sejak 16 September dan menegakkan jam malam di lima di antaranya.

Noboa menuduh geng kriminal Venezuela, Tren de Aragua, terlibat dalam kerusuhan tersebut. Dia mengancam akan menuntut demonstran yang melanggar hukum dengan tuduhan terorisme, yang dapat dihukum hingga 30 tahun penjara. Demonstran, bagaimanapun, tetap bertekad memblokir jalanan sebagai bentuk protes, dan puluhan orang telah ditangkap terkait kekerasan yang terjadi.

Ketidakadilan dan Kekerasan di Ekuador memang bukan hal baru. Namun, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat miskin justru membakar semangat protes massa. Berharap situasi di Ekuador dapat segera stabil, dan setiap korban tidak terlupakan dalam usaha mempertahankan keadilan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan