Pakar Gizi Ungkap Titik Kritis dan Celah dalam Keracunan Massal pada Makanan Bersubsidi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diangkat sebagai prioritas pemerintah dalam upaya peningkatan gizi anak sekolah kini menjadi perhatian khusus masyarakat. Hal ini disebabkan oleh lonjakan kasus keracunan yang terjadi setelah siswa mengonsumsi makanan yang disediakan dalam program tersebut.

Siswa mengalami gejala seperti muntah dan diare setelah memakan menu MBG, menimbulkan keprihatinan masyarakat tentang keamanan pangan dalam distribusi massal. Menurut data dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, hingga 21 September 2025, jumlah kasus keracunan pada anak dalam program ini mencapai 6.452.

Kasus terbaru dilaporkan di SDN 07 Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, pada Rabu (24/9/2024). Dari 150 siswa penerima, enam di antaranya mengalami muntah setelah menyantap menu yang berbau aroma kol yang menyengat. Fenomena serupa juga terjadi di Kota Bandung, di mana puluhan siswa mengalami mual, muntah, dan diare setelah mengkonsumsi makanan yang disediakan dalam program MBG.

Meskipun hasil uji laboratorium menunjukkan tidak semua kasus disebabkan oleh keracunan, kejadian ini mengungkapkan ada celah serius dalam sistem distribusi pangan MBG. Pakar gizi dr Tan Shot Yen menegaskan bahwa masalah keracunan massal terjadi karena kepalaan dalam pengolahan dan distribusi makanan. Suhu penyimpanan menjadi titik rawan yang sering diabaikan.

Menurut dr Tan, suhu antara 5 hingga 60 derajat Celsius merupakan zona berbahaya di mana bakteri, jamur, dan mikroba berbahaya dapat berkembang dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan makanan basi jika disimpan dalam suhu ruang selama lama. Ia memberi contoh praktik katering pesta yang selalu menggunakan pemanas untuk menyimpan makanan, bukan hanya untuk menahan kehangatan, tetapi juga untuk mencegah pertumbuhan bakteri.

Dengan demikian, dr Tan Saran distribusi MBG harus dilakukan dengan penuh perhatian. Salah satu solusi efektif adalah mensuplai makanan langsung ke kantin sekolah atau memastikan setiap makanan disimpan dalam wadah dengan pemanas hingga siap disajikan kepada siswa.

Lebih lanjut, dr Tan menekankan kebutuhan kolaborasi yang lebih luas dalam pengawasan program ini. Pemerintah perlu bekerja sama dengan organisasi profesi gizi seperti Persagi, akademisi, dan tenaga pelaksana gizi di lapangan. Kader posyandu dan tenaga medis di puskesmas juga harus terlibat agar pemantauan lebih akurat dan risiko kesalahan dalam menu atau distribusi makanan dapat diminimalkan.

Ia juga mengungkapkan khawatir program MBG bisa dimanfaatkan sebagai wadah promosi produk tertentu, bukan fokus pada tujuan gizi utama. Jika memang ada keterlibatan pelaku usaha, dr Tan mengusulkan agar kontribusinya nyata, misalnya dengan menyediakan dapur mobil berpemanas, bukan hanya memasok produk instan.

Untuk menjamin tujuan program MBG, yaitu meningkatkan gizi anak Indonesia, kualitas makanan, rantai distribusi, dan mekanisme pengawasan harus diperketat. Hal ini penting untuk menghindari terbelakangnya program ini menjadi sumber masalah kesehatan baru.

Keberhasilan program MBG bergantung pada kolaborasi yang kuat antara pemerintah, ahli gizi, dan masyarakat. Dengan pendekatan pentahelix yang solid, sumber daya yang tepat, dan pengawasan yang ketat, program ini dapat mencapai tujuannya tanpa menimbulkan risiko bagi kesehatan anak sekolah. Mari kita dukung upaya ini untuk masa depan yang lebih sehat bagi generasi muda.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan