Pemungutan pajak rokok yang tinggi diperkirakan memicu peredaran rokok ilegal.

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Menurut Wijayanto Samirin, ekonom senior dan anggota dewan pakar APINDO, tarif cukai hasil tembakau yang terlalu tinggi boleh saja mendorong peredaran rokok ilegal di negara ini. Dia memperkirakan bahwa negara bisa kehilangan penerimaan hingga Rp15-25 triliun setiap tahun karena dampak pasar gelap. “Cukai tinggi memang membuat bisnis rokok ilegal lebih menjanjikan. Namun, solusinya tidak terletak pada besar kecilnya tarif, melainkan pada penegakan hukum yang lebih ketat,” ungkapnya.

Sebagai langkah sementara, Wijayanto menyarankan untuk memberikan moratorium pada kenaikan tarif cukai hingga kebijakan yang lebih matang dapat disiapkan. “Kebijakan perlu disusun dengan pendekatan yang teknokratis dan komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan dampak yang mungkin timbul,” tambahnya.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga mengakui bahwa tarif cukai saat ini sudah tinggi, rata-rata mencapai 57%. Ia menganggap kondisi ini tidak hanya membebani industri hasil tembakau, tetapi juga bisa mengurangi kontribusi terhadap penerimaan negara. Menurut Purbaya, ada fenomena menarik di lapangan: penurunan tarif justru bisa meningkatkan penerimaan negara. “Jika tarif dikurangi, penerimaan negara malah bertambah. Maka, mengapa tarif dikurangi? Sepertinya ada kebijakan di baliknya yang bukan hanya untuk mengatur pendapatan, tetapi juga untuk mengurangi konsumsi rokok,” terangnya saat berbicara di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Purbaya juga menekankan bahwa kebijakan cukai di masa depan akan bergantung pada hasil studi dan analisis lapangan yang sedang berlangsung. Dia juga mendorong pentingnya menyeimbangkan penerimaan negara dengan pelestarian lapangan kerja. “Sementara pemerintah belum bisa menyerap tenaga kerja yang tidak terabsorpsi, industri ini tidak boleh dihentikan,” katanya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Menurutnya, setiap persen pertumbuhan ekonomi idealnya bisa menciptakan 950.000 lapangan kerja. “Pertumbuhan ekonomi tidak hanya tentang angka, tetapi tentang pengurangan pengangguran dan kemiskinan yang nyata,” ujarnya.

Industri hasil tembakau, yang memberikan lapangan kerja langsung dan tidak langsung kepada sekitar 6 juta orang, tetap menjadi sektor yang strategis. Oleh karena itu, kebijakan cukai di masa depan diharapkan bisa menyeimbangkan penerimaan negara, kesehatan masyarakat, dan kelanjutan industri.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa peningkatan tarif cukai tidak selalu berkorelasi dengan penurunan konsumsi rokok ilegal. Sejauh ini, penegakan hukum lemah dan aksesibilitas rokok ilegal yang tinggi menjadi faktor utama prasangka. Studi kasus di beberapa negara menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih efektif adalah kombinasi penegakan hukum yang kuat dengan edukasi masyarakat tentang bahaya merokok.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan cukai. Industri hasil tembakau memberikan kontribusi signifikan pada perekonomian dan lapangan kerja, sehingga kebijakan yang terlalu keras tanpa perencanaan yang matang bisa mempengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial.

Meskipun tantangan besar hadir, kesempatan juga ada. Dengan kebijakan yang tepat, pemerintah bisa mengurangi rokok ilegal, meningkatkan penerimaan negara, dan melindungi kesehatan masyarakat. Solusi tidak terletak pada satu sisi saja, tetapi pada pendekatan holistik yang mempertimbangkan semua aspek yang berkaitan.

Kebijakan cukai yang bijaksana bukan hanya tentang mengatur pendapatan, tetapi juga tentang kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi. Dengan mempertimbangkan semua faktor, pemerintah bisa menemukan jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Mari kita perjuangkan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan, demi masa depan yang lebih sehat dan makmur.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan