Buruh dan DPR Membahas RUU Ketenagakerjaan, Dianut PHK-Pesangon

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Komisi IX DPR RI menyelenggarakan rapat bersama Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan dengan berbagai organisasi dan serikat pekerja. Dalam kesempatan tersebut, mereka membahas berbagai isu, termasuk sistem kerja, upah, dan jaminan profesi bagi para pekerja.

Roy Jinto, perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), mengungkapkan kepentingan kepastian pesangon untuk karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan yang pailit. Menurutnya, banyak perusahaan yang menghindari pembayaran pesangon dengan cara memailitkan diri.

“Kondisi ini berbeda dengan karyawan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Karyawan di perusahaan swasta lebih rentan karena tidak mendapat perlindungan yang cukup. Contohnya, Sritex yang memiliki utang Rp 29 triliun sedangkan asetnya hanya Rp 9 triliun. Hal ini pasti akan mengakibatkan buruh tidak menerima pesangon akibat penutupan perusahaan,” katanya.

Roy juga mengajukan beberapa usulan, seperti adanya kepastian pesangon dalam peraturan terbaru, keterlibatan pihak ketiga dalam proses pembayaran, dan peran Menteri Ketenagakerjaan untuk memastikan perusahaan pailit dapat membayar pesangon. Selain itu, ia menegaskan bahwa proses PHK harus dilakukan secara musyawarah mufakat, bukan hanya diumumkan setelah keputusan sudah diambil.

Dia juga mengusulkan pengaturan kembali sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan batasan waktu yang lebih ketat, misalnya tidak melebihi 3 atau 5 tahun. Selain itu, ia mempertanyakan sistem magang saat ini yang sering dimanfaatkan oleh pencari kerja tanpa mendapatkan upah minimum, hanya uang saku.

Ristadi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), juga mengungkapkan masalah kesenjangan upah minimum antar daerah. Menurutnya, upah di Karawang bisa mencapai Rp 5,5 juta, sementara di Yogyakarta hanya Rp 2,3 juta, padahal harga produk yang sama tidak jauh berbeda. Hal ini menurutnya tidak adil karena beban hidup di kedua daerah tidak sebanding.

“Kesejajaran upah di berbagai wilayah harus dipertimbangkan, terutama untuk pekerja dengan kompetensi dan industri yang sama. Kesenjangan seperti ini tidak adil dan mempengaruhi kesejahteraan pekerja secara nasional,” tegas Ristadi.

UNIQUE INSIGHTS: Kesenjangan upah di Indonesia bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial. Pekerja di daerah dengan upah minimum lebih rendah sering kali menghadapi tantangan finansial yang lebih besar, terutama dengan harga produk yang seragam di seluruh wilayah. Solusi seperti pemberlakuan upah minimum sektoral nasional secara bertahap bisa menjadi langkah yang efektif untuk mereduksi perbedaan ini.

Tidak hanya itu, sistem outsourcing dan PKWT juga perlu diatur lebih ketat agar tidak mengeksploitasi pekerja. Magang yang tidak dibayar dengan upah minimum juga perlu diatur dengan lebih baik untuk mencegah penyalahgunaan.

Setiap upaya reformasi dalam RUU Ketenagakerjaan harus mempertimbangkan kesejahteraan pekerja secara holistik, tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga hak-hak dan perlindungan hukum yang mereka miliki.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan