Saksi Mengungkap Momen Penangkapan Eks Ketua PN Jaksel oleh Kejagung Setelah Aktivitas Golf

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Edi Sarwono, menjelaskan detil penangkapan mantan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, yang terlibat kasus dugaan suap vonis lepas terkait perkara minyak goreng. Edi memperjelas bahwa penangkapan terjadi saat Arif sedang bermain golf di Lapangan Golf Suvarna Halim. Keterangan ini diberikan saat Edi menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 17 September 2025. Dalam sidang tersebut, selain Arif, terdakwa lainnya meliputi mantan Panitera Muda Perdata Wahyu Gunawan, hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

Edi menjelaskan bahwa dia dijemput untuk bermain golf bersama Arif. Dia mengaku menerima panggilan dari Arif atau sendiri untuk menjemputnya. Setelah bermain golf, Edi terlibat dalam pernyataan yang berkaitan dengan penangkapan Arif. Penyidik Kejaksaan Agung kemudian memeriksa mobil Edi, yang dinyatakan dititipkan tas golf oleh Arif. Hasil pemeriksaan memastikan tas tersebut hanya berisi peralatan golf biasa. Penyidik kemudian mengungkapkan bahwa pemeriksaan mobil terkait dengan penjemputan paksa Arif, yang telah ditangkap sebelum mobil diperiksa.

Dalam persidangan selanjutnya, jaksa memfokuskan pada detail tas yang dititipkan Arif. Edi mengonfirmasi tas itu hanya berisi peralatan golf, tanpa ada yang tersembunyi. Kasus ini melibatkan majelis hukum yang memvonis korporasi migor, dipimpin hakim Djuyamto, dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa menuduh mereka menerima suap dan gratifikasi terkait vonis lepas. Uang suap sebesar Rp 40 miliar diduga diberikan oleh pengacara terdakwa korporasi migor, yakni Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei. Uang tersebut dibagi antara Djuyamto, Agam, Ali, Arif, dan Wahyu Gunawan. Berdasarkan surat dakwaan, Arif menerima Rp 15,7 miliar, Wahyu Rp 2,4 miliar, Djuyamto Rp 9,5 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

Kasus ini mengungkap korupsi di lingkungan peradilan yang mempengaruhi keputusan hukum. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan integritas dalam sistem peradilan untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat. Meskipun proses hukum masih berlangsung, keterangan saksi dan bukti yang disajikan menyoroti kompleksitas dan dampak kasus suap terhadap keadilan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan