"Menghadapi Risiko Tersembunyi dalam Pengembangan Infrastruktur Tak Berkelanjutan"

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Sepanjang bulan terakhir, kondisi politik dan sosial di negara ini mengalami kemarahan yang semakin parah. Hal ini tidak terjadi dalam ruang kosong, melainkan sebagai akibat sistemik yang berlaku di tengah kebijakan pemerintah yang tak menunjukkan keadilan kepada rakyat, diiringi dengan perbuatan DPR yang seakan-akan bersatu dengan pemerintah.

Dalam keadaan kekecewaan publik yang bertambah parah sejak awal kekuasaan Prabowo, pemerintah dan anggota dewan malah menunjukkan tanggapan yang tidak serius terhadap kritik masyarakat, bahkan sering merendahkan rakyat dan tetap melakukan tindakan yang tidak peka terhadap penderitaan masyarakat. Sementara itu, ketidakpastian hukum dan keadilan menjadi beban tambahan bagi warga ketika menghadapi situasi ketidakadilan dan kekerasan dari aparat.

Sistem yang berlangsung lama selama berbagai kepemimpinan tanpa perubahan mendasar, ditambah dengan berbagai tekanan hidup, membuat kemarahan masyarakat semakin sulit dikendali. Namun, kekecewaan dan kemarahan ini belum mendapat respon yang memuaskan dari pemerintah, seperti pembenahan sistemik dalam pemerintahan, lembaga eksekutif, peradilan, dan keamanan negara.

Saat ini, Indonesia menghadapi persimpangan kritis. Kontradiksi antara pemerintah dan aspirasi rakyat semakin mencolok, menimbulkan ketidakpastian di berbagai sektor kehidupan. Artikel ini akan membahas kondisi Indonesia yang rentan terhadap krisis lingkungan dan perubahan iklim, sehingga terancam oleh bencana dan menjauh dari tujuan pembangunan berkelanjutan.

Menurut Indeks Perubahan Iklim (CCPI) 2024, Indonesia berada di peringkat 42, dengan nilai yang meliputi pengurangan emisi gas rumah kaca, kebijakan energi berkelanjutan, dan kebijakan iklim, semuanya mendapat ‘rapot merah’. World Risk Report 2023 juga menempatkan Indonesia sebagai negara kedua tergancang bencana secara global. Data Climate Action Tracker pada 10 Desember 2024 menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam ‘rapot merah’ untuk adaptasi perubahan iklim.

Target, komitmen, dan kebijakan Indonesia masih berada dalam kategori kritis, tidak cukup untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris dalam mempertahankan peningkatan suhu global di bawah 1,5°C. ‘Rapot merah’ ini mencakup kebijakan mitigasi iklim, penurunan deforestasi, dan strategi emisi nol karbon yang belum memadai. Selain itu, Indonesia berada di peringkat 70 dalam Security Sustainability Index (SSI), menunjukkan risiko dalam stabilitas nasional, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam. Negara ini juga mengalami degradasi sumber daya alam yang dipicu oleh tata kelola dan lembaga yang kurang transparan, tidak akuntabel, dan kurang mendukung partisipasi publik.

Sementara pemerintah mengklaim penurunan kemiskinan sebesar 0,10 persen menurut BPS Maret 2025, Rasio Gini tahun 2024 meningkat dari 0,379 menjadi 0,381, yang menunjukkan kesenjangan ekonomi yang semakin besar. Data BPS 2024 juga menunjukkan peningkatan kemiskinan di perkotaan dari 6,66% (September 2024) menjadi 6,73% (Maret 2025), sementara kemiskinan di pedesaan berkurang, dipengaruhi oleh sektor pertanian. Sektor pertanian masih menjadi penyedot tenaga kerja terbesar dengan 28,18% (40,75 juta pekerja) menurut data BPS 2024. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok rentan di Indonesia masih tinggi, dan pertanian menjadi sektor yang sangat bergantung bagi perekonomian.

Industri ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Global Forest Watch mencatat bahwa deforestasi di Indonesia antara 2001-2024 telah mengurangi tutupan hutan hingga 76%, meningkatkan emisi karbon. Kerusakan ini tidak lepas dari kebijakan ekonomi politik dan kekuasaan dalam industri energi dan komoditas. Trend terbaru menunjukkan pergeseran ke industri bahan baku baterai kendaraan listrik, tetap diiringi dengan pengelolaan sumber daya alam yang tidak transparan, politik rente, dan pengaruh oligarki yang memperkaya elit.

Akibatnya, kapital dari sumber daya alam mengalir ke pusat kekuasaan, sementara masyarakat lokal mengalami kerusakan lingkungan dan kerentanan berulang. Sistem politik yang tidak demokratis juga menghambat partisipasi warga dalam upaya adaptasi perubahan iklim, yang seharusnya memerlukan keragaman lokal. Akhirnya, tanpa kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan partisipasi masyarakat, Indonesia akan terus menghadapi risiko bencana dan ketidakadilan sosial.

Kondisi saat ini meminta kesadaran bersama untuk membangun sistem yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan. Hanya dengan perubahan struktural dan partisipasi aktif masyarakat, Indonesia dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dan krisis sosial dengan lebih baik. Waktu sudah menuntut tindakan nyata, bukan hanya retorika.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan