Gerakan Perempuan di Iran Tiga Tahun Setelah Mahsa Amini

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Tiga tahun telah berjalan sejak Jina Mahsa Amini kehilangan nyawanya di dalam sel tahanan polisi moral di Teheran. Saat itu, ia baru berusia 22 tahun, seorang wanita Kurdi yang diangkut dari jalan karena tidak memakai jilbab, dan tak pernah kembali ke rumah.

Kematian Mahsa pada 16 September 2022 menjadi pelopor protes massal di seluruh Iran. Dari situ, lahir semangat yang menggema: “Zan, Zendegi, Azadi,” yang berarti “Perempuan, Kehidupan, dan Kebebasan.”

Otoritas Iran menanggapi protes tersebut dengan kekerasan, menewaskan ratusan warga dan menangkapi lebih dari 20.000 orang, menurut data organisasi hak asasi manusia.

Meskipun rezim teokrasi di Iran berhasil memadamkan gelombang protes awal, kematian Mahsa dianggap sebagai titik perubahan dalam sejarah negara tersebut.

Kini, tiga tahun kemudian, rezim masih berusaha menegakkan kekuasaannya. Namun, wanita-wanita muda kini sering terlihat berlalu lalang di jalanan tanpa memakai jilbab, menantang aturan yang semakin kaku dan ancaman yang bertepatan.

Atefeh Chaharmahaliyan, aktivis hak asasi manusia asal Iran yang kini berlindung di Jerman setelah penahanan selama 70 hari selama protes 2022, menjelaskan bahwa tuntutan masyarakat telah melebihi kebebasan berpakaian. Masyarakat Iran, terutama generasi muda, kini memahami bahwa tuntutan ekonomi dan kebebasan saling terhubung.

Peringatan kematian Mahsa jatuh pada saat kritis bagi kepemimpinan Iran, yang masih pulih dari konflik 12 hari dengan Israel pada Juni lalu, serta serangan terhadap fasilitas nuklir oleh Israel dan Amerika Serikat. Krisis ekonomi semakin parah, memperdalam kemarahan masyarakat dan memaparkan kerusakan dalam sistem republik Islam.

Sejak perang dengan Israel, penangkapan dan eksekusi meningkat secara dramatis, menurut aktivis masyarakat sipil di Teheran yang berbicara anonim untuk alasan keamanan. Pemerintah berusaha menakuti rakyat agar tidak kembali berunjuk rasa, tetapi semangat untuk kebebasan dan keadilan tetap kuat.

Helen Nosrat, aktivis perempuan Iran yang sekarang hidup di Jerman, mempertanyakan kemungkinan munculnya protes besar-besaran dalam waktu dekat. Meski gerakan Mahsa meninggalkan dampak besar dan melemahkan aturan berjilbab, perang dengan Israel telah menciptakan krisis yang lebih parah bagi rakyat. Saat ini, sebagian besar orang lebih fokus pada keberadaan dan keamanan keluarga daripada merobohkan rezim.

Behnam Daraeizadeh, peneliti di Center for Human Rights in Iran (CHRI), sepakat bahwa perang tidak selalu menimbulkan protes demokratis. Justru, konflik militer bisa menghambat gerakan rakyat dan memperkuat kontrol pemerintah atas aktivis sipil.

Kondisi ekonomi Iran semakin memburuk, dengan inflasi tinggi, daya beli menurun, pengangguran generasi muda, dan kemiskinan yang meningkat. Sanksi Amerika Serikat sejak 2018 telah mempersulit situasi ekonomi.

Daraeizadeh menjelaskan bahwa setiap gerakan protes baru kemungkinan dipicu oleh krisis ekonomi yang semakin dalam, ketimpangan sosial, dan kemarahan kelompok termiskin.

Chaharmahaliyan memperingatkan bahwa pemberontakan baru akan lebih radikal daripada tiga tahun lalu. Tekanan yang besar di wilayah perbatasan, daerah miskin, dan kelompok ekonomi rentan akan mendorong etnis minoritas, penduduk daerah perbatasan, dan sektor buruh untuk bergabung dalam protes yang lebih terorganisasi.

Nosrat menambahkan bahwa gerakan protes berikutnya mungkin akan lebih menekankan isu ekonomi, keadilan sosial, dan keamanan, dengan kata “kehidupan” akan lebih kuat daripada “kebebasan.”

Saat ini, masyarakat Iran terus berjuang dalam kondisi yang semakin sulit. Meskipun rezim masih berkuasa, semangat untuk perubahan tetap hidup. Generasi muda, dengan semangat mereka, terus mencari jalan untuk membangun masa depan yang lebih adil dan bebas.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan