Jenazah Mahasiswa Pendamping Pejabat dari Wina Sudah Diterima di Indonesia pada 4 September

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Arrmanatha Nasir, Wakil Menteri Luar Negeri, mengonfirmasi bahwa mahasiswa Indonesia yang meninggal saat mendampingi pejabat di Austria telah pulang ke negeri pada 4 September 2025. Kasus tersebut melibatkan Muhammad Athaya Helmi Nasution, seorang mahasiswa berusia 18 tahun yang menuntut ilmu di Belanda. Ia membantu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Wina dalam kegiatan yang melibatkan PPI Belanda dan PPI Wina.

Dalam keterangan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025), Arrmanatha menuturkan bahwa KBRI Wina dan KBRI Belanda telah memberikan dukungan penuh. Jenazah Athaya telah tiba di Indonesia pada tanggal 4 September 2025. “KBRI Wina dan KBRI Belanda segera memberikan bantuan setelah mengetahui insiden ini. Hubungan langsung dengan PPI Belanda juga dilakukan, sehingga proses pemulangan jenazah dapat berlangsung dengan lancar,” ujarnya.

Sebelumnya, PPI Belanda telah mengumumkan duka berita mengenai kematian Athaya. Menurut keterangan resmi di akun Instagram mereka, Selasa (9/9) lalu, Athaya wafat saat bertugas mendampingi kunjungan kerja pejabat Indonesia di Wina, Austria, antara 25-27 Agustus 2025. Ia mengalami heatstroke yang berakibat fatal setelah bekerja dari pagi hingga malam tanpa istirahat yang memadai.

PPI Belanda juga mengkritik event organizer dan kordinator yang mengatur kunjungan tersebut. Mereka menyatakan bahwa acara bekerja lanjut meski Athaya baru saja meninggal. “Pihak EO malah sibuk memperlancar acara makan malam dengan pejabat daripada mengunjungi tempat penginapan ketika Athaya terakhir kali bernapas,” tulis PPI Belanda. Selain itu, keluarga korban juga merasa terlambat mendapatkan informasi rincian kegiatan yang dipimpin oleh Athaya.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa kasus seperti ini sering terjadi pada mahasiswa yang bekerja ekstra sebagai pemandu tur. Studi menunjukkan bahwa 70% mahasiswa asing yang bekerja sebagai pemandu mengalami kelelahan ekstrem akibat jam kerja yang berlebihan. Pendekatan yang lebih humanis dan pengawasan ketat terhadap jam kerja diperlukan untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Sedangkan dalam analisis unik dan simplifikasi, tragedi Athaya menegaskan pentingnya kesadaran akan kesehatan dan kesejahteraan dalam dunia kerja, terutama bagi mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Peran organisasi pelajar dan konsulat perlu lebih aktif dalam memantau dan melindungi anggota mereka.

Penyederhanaan topik ini mengungkapkan bahwa kerjasama antara pemerintah dan organisasi mahasiswa harus dioptimalkan untuk mencegah insiden serupa. Studi kasus ini juga mendorong pembuatan protokol kerja yang lebih baik, seperti batas jam kerja yang jelas dan akses langsung kepada pejabat yang bertanggung jawab.

Dalam kesimpulan, peristiwa ini mengajarkan kita bahwa setiap hidup berharga dan harus dilindungi. Insiden Athaya harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak, sehingga generasi muda dapat berkarya dengan aman dan terlindungi. Mari kita bangun sistem yang lebih peduli, baik dalam pendidikan maupun dunia kerja.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan