Bamsoet Ungkap Bahaya AI, Tirani Algoritma, dan Manipulasi Disinformasi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR RI dan dosen tetap program doktoral Universitas Borobudur, mengungkapkan bahwa ancaman stabilitas sosial di Indonesia saat ini tidak terbatas pada kerusuhan fisik, melainkan juga dari disinformasi di dunia maya. Menurutnya, unggahan singkat, komentar spontan, dan tagar populer yang dirancang dengan algoritma, kecerdasan buatan, dan strategi disinformasi kini mampu memanipulasi emosi publik hingga memicu kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran.

Dalam keterangannya Minggu, 14 September 2025, Bamsoet menjelaskan bahwa dulu kerusuhan timbul dari demonstrasi fisik, kini cukup satu narasi palsu di media sosial untuk menggerakkan massa. Deepfake dan manipulasi visual membuat kebohongan tampak nyata, menjadi tantangan baru yang harus dihadapi.

Pernyataan ini disampaikannya saat menjadi penguji internal dalam sidang terbuka disertasi Mayjen TNI AD Endro Satoto di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (13/9), yang membahas perlindungan korban siber di Indonesia. Kasus Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tragis meninggal akibat tabrakan dengan kendaraan aparat, menjadi contoh nyata. Video amatir yang beredar secara luas dalam hitungan menit memicu reaksi emosional massal, meningkatkan tensi dan demonstrasi di lapangan.

Data dari LAB 45 pimpinan Andi Widjajanto menunjukkan, dari Oktober 2024 hingga 5 September 2025, terjadi 218 aksi massa, termasuk 156 demonstrasi, 49 amok, dan 13 aksi anarkis. Sebagian besar menargetkan instansi pemerintah dan fasilitas umum, termasuk perusakan kantor dan penjarahan. Algoritma media sosial yang tidak netral memprioritaskan konten provokatif, sementara klarifikasi sering tenggelam. Ditambah dengan kecerdasan buatan yang memproduksi hoaks secara massal, ancaman ini dapat menggerus legitimasi negara dan memperdalam ketidakpercayaan masyarakat.

Bamsoet juga mengutip laporan Global Disinformation Index yang menempatkan Indonesia sebagai negara rentan terhadap hoaks politik. Data Kementerian Komunikasi dan Digital tahun 2024 mencatat lebih dari 11.000 konten hoaks, 32 persennya berkaitan dengan politik dan pemilu. Survei Katadata Insight Center awal 2025 menunjukan 7 dari 10 pengguna internet kesulitan membedakan berita asli dan palsu.

Fenomena serupa terjadi di India dan Amerika Serikat, dimana hoaks di WhatsApp dan teknologi voice cloning telah memicu kekerasan dan penipuan finansial. FBI mencatat kerugian akibat kejahatan siber melebihi USD 10 miliar tahun 2023, terus meningkat. Bamsoet menyatakan bahwa disinformasi berbasis kecerdasan buatan dapat menggerakkan emosi massa dalam waktu singkat, sementara masyarakat semakin sulit membedakan fakta dengan buatan.

Untuk mengatasi krisis ini, Bamsoet mendesak pemerintah dan DPR untuk mengambil langkah-langkah luar biasa. Di antaranya, membuat regulasi algoritma yang meminta transparansi platform digital dalam pengaturan konten politik dan keamanan. Undang-Undang Keamanan Digital dan Anti-Disinformasi juga diperlukan untuk mengatur penggunaan kecerdasan buatan dalam produksi konten digital, dengan watermark dan metadata tak bisa dihapus.

Penguatan literasi digital dan fact-checking nasional juga diperlukan, dengan dukungan dari organisasi lokal dan komunitas kampus. Kurikulum sekolah dan kampanye publik berskala nasional dapat membantu menambah pemahaman masyarakat. Revisi UU ITE dan integrasi dengan regulasi kecerdasan buatan juga penting agar undang-undang lebih tepat membedakan antara konten asli dan manipulatif.

Bamsoet menekankan bahwa teknologi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan pemecah belah. Regulasi yang dibuat harus seimbang, tanpa membungkam kritik rakyat, tetapi tetap menjamin aturan yang adil, transparan, dan akuntabel.

Turut hadir sebagai penguji dalam sidang tersebut adalah promotor Prof. Faisal Santiago, ko-promotor Dr. Sulhan, penguji internal Prof. Ade Saptomo, dan penguji eksternal Prof. Ibnu Sina Chandranegara.

Ketika kita menghadapi era digital yang semakin canggih, kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman disinformasi dan kecerdasan buatan menjadi prioritas. Hanya dengan regulasi yang tepat dan kepedulian kolektif, kita dapat melindungi stabilitas sosial dan menjaga keadilan dalam masyarakat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan