Perbedaan Aturan Indonesia dan Taiwan Terkait Residu Pestisida dalam Mi Instan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Produk mi instan dari Indonesia kembali menjadi perbincangan di tingkat global. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) di Taiwan menemukan adanya etilen oksida (EtO) dalam produk Indomie Mi Instan Rasa Soto Banjar Limau Kuit. Keberadaan senyawa ini membuat produk tersebut dikategorikan tidak layak untuk dijual di Taiwan.

Senyawa kimia berupa gas ini memiliki rumus C2H4O, tak berwarna, dan memiliki aroma seperti eter. Etilen oksida (EtO) memiliki sifat reaktif dan mudah terbakar. Dalam berbagai industri, gas ini digunakan untuk sterilisasi peralatan medis, pembasmian mikroorganisme, hingga sebagai bahan baku untuk produk kimia lainnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa EtO dapat merusak DNA dan memicu mutasi genetik. Karena sifatnya yang efektif melawan bakteri, jamur, serta virus tanpa memerlukan suhu tinggi, EtO sering digunakan untuk memastikan keamanan produk yang sensitif terhadap panas.

Dalam industri pangan, EtO digunakan sebagai bahan fumigasi untuk menghilangkan mikroorganisme yang dapat merusak kualitas produk, terutama pada rempah-rempah, herba, dan bumbu kering. Penggunaan EtO dalam bumbu memudahkan proses sterilisasi tanpa mengubah aroma dan warna. Namun, jika proses aerasi tidak dilakukan dengan benar, residu berbahaya dapat tetap tersisa. Etilen oksida juga bisa bereaksi dengan ion klorida dalam pangan, membentuk 2-kloroetanol (2-CE), yang juga berbahaya.

Menurut laporan FDA Taiwan, sisa EtO sebesar 0,1 mg/kg ditemukan dalam bumbu penyedap mi instan, bukan pada mie itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa EtO mungkin digunakan dalam proses sterilisasi bumbu untuk menghindari kontaminasi bakteri. Pada kondisi normal, residu EtO akan hilang setelah beberapa waktu atau saat dimasak. Namun, jika yang tersisa adalah 2-CE, maka suhu hingga 430-496 derajat Celcius diperlukan untuk menghilangkan senyawa tersebut. Hal ini diatur dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022.

Berdasarkan penelitian International Agency for Research on Cancer (IARC), EtO diklasifikasikan sebagai karsinogen untuk manusia (Kelompok 1). Paparan jangka panjang terhadap senyawa ini dapat meningkatkan risiko kanker seperti leukemia, limfoma, dan kanker payudara serta kerusakan DNA. Selain itu, EtO dapat berubah menjadi 2-CE ketika terkena pangan, senyawa yang juga memiliki sifat toxik. Oleh karena itu, banyak negara menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap keberadaan EtO dalam makanan.

Setiap negara memiliki regulasi yang berbeda. Taiwan melarang sepenuhnya adanya residu EtO dalam produk pangan, sedangkan di Indonesia, BPOM menetapkan batas maksimal residu EtO dan 2-CE yaitu 0,01 mg/kg dan 85 ppm (85 mg/kg). Perbedaan regulasi ini kerap menjadi sumber kontroversi, terutama ketika produk ekspor diuji dengan standar yang lebih ketat di luar negeri.

Kasus ini menjadi virals karena mi instan adalah makanan favorit di Indonesia dan juga populer di seluruh dunia. Isu ini juga menyoroti kredibilitas produk lokal di pasar global, perbedaan standar keamanan pangan antarnegara, serta kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap mi instan. Meskipun BPOM menyatakan bahwa produk yang beredar di Indonesia aman, banyak orang khawatir apakah mi instan yang mereka beli juga mengandung EtO.

Sebagai konsumen, ada beberapa langkah bijak yang bisa dilakukan: selalu ikuti informasi resmi dari BPOM tentang keamanan pangan, batasi konsumsi mi instan karena kandungan garam, lemak, dan kalori yang tinggi, serta lengkapi pola makan dengan sayur, buah, dan protein segar untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Kasus Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang ditolak di Taiwan membuka mata bahwa perbedaan standar keamanan pangan antarnegara bisa menjadi sumber polemik. Etilen oksida (EtO) meskipun bermanfaat untuk sterilisasi, tetapi keberadaannya dalam makanan berisiko bagi kesehatan bila dikonsumsi terus-menerus. Isu ini menjadi pengingat pentingnya transparansi industri pangan, pengawasan ketat dari regulator, serta kesadaran konsumen untuk lebih selektif dalam memilih makanan.

Menurut keterangan resmi BPOM RI, produk Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang dijual di Taiwan bukan merupakan ekspor resmi. Diduga, ekspor dilakukan oleh trader tanpa sepengetahuan produsen. Selain itu, BPOM RI juga menyatakan bahwa produk tersebut memiliki izin edar di Indonesia sehingga tetap dapat dikonsumsi.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan