Kesehatan telah lama dianggap sebagai salah satu ukuran paling tepat untuk mengukur kualitas keterwakilan politik di berbagai negara. Alasan utama karena kesehatan menjadi hasil akhir dari seluruh kebijakan yang diambil. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini mengedepankan konsep Health for All Policies.
World Health Statistics Report dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia menempatkan indikator kesehatan sebagai patokan utama dalam menilai sukses pembangunan politik, demokrasi, dan governance. The Lancet pun sering menekankan dalam editorinya bahwa perwakilan politik baru bisa dianggap otentik jika terus terhubung dengan kondisi kesehatan masyarakat.
Ini berarti bahwa setiap kebijakan publik yang dihasilkan oleh wakil rakyat, seperti halnya bidang pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur, harus tampak melalui indikator kesehatan seperti gizi anak, angka kematian ibu dan bayi, atau pengeluaran untuk penyakit serius. Kebijakan stabilitas politik dan keadilan hukum juga perlu menghasilkan rasa aman psikologis bagi warga serta mengurangi beban kesehatan mental.
Di Indonesia, keterwakilan politik sering kali masih dinilai dari segi yang sangat permukaan. Anggota DPR dianggap berhasil jika rajin turun ke daerah, menyebarkan sembako, hadir di acara lokal, atau meresmikan proyek infrastruktur. Sayangnya, sebelum duduk di parlemen, mayoritas calon legislatif tidak memprioritkan kesehatan sebagai indikator keterwakilan. Dalam kampanye, isu kesehatan jarang menjadi fokus utama, lebih diprioritaskan infrastruktur lane, sembako murah, atau retorika nasionalisme. Padahal, masalah kesehatan di Indonesia sangat mendesak.
Data survei Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Pemilu 2019 menunjukkan bahwa hanya 11 persen caleg DPR yang menyertakan program kesehatan dalam visi misinya. Sebagian besar masih berbicara tentang pembangunan fisik, pengentasan kemiskinan secara normatif, atau pemberdayaan ekonomi tanpa mendalami aspek kesehatan masyarakat secara konkret. Situasi ini berulang pada Pemilu 2024, menurut penelitian Perludem dan KoDe Inisiatif, isu kesehatan jarang menjadi prioritas dalam debat atau kampanye, kecuali dari beberapa kandidat yang berawal dari latar belakang medis atau aktivis sosial. Akibatnya, setelah menjadi anggota dewan, indikator kesehatan tidak pernah dijadikan tolok ukur keterwakilan. Tanpa “rapor keterwakilan” yang faktual, anggota DPR dari daerah dengan stunting tertinggi atau angka kematian ibu yang tinggi tidak pernah dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks ini, filosofi keterwakilan bisa dianalisis melalui kedokteran komunitas. Masyarakat mungkin dimampukan untuk melakukan diagnose sederhana tentang keterwakilan mereka. Pertanyaan seperti apakah anak-anak lebih sehat sekarang dibanding lima tahun lalu? Apakah biaya medis lebih terjangkau? Apakah layanan kesehatan primer semakin dekat dan cepat? Atau apakah lingkungan menjadi lebih bersih dengan air layak dan sanitasi setelah wakil rakyat bertugas? Jawaban “ya” menunjukkan keterwakilan berhasil, sedangkan “tidak” menunjukkan kegagalan.
Teori cognitive dissonance dari Leon Festinger (1957) menjelaskan bahwa janji politik harus dibandingkan dengan realitas sehari-hari, dan indikator kesehatan menjadi salah satu ukuran yang paling nyata bagi masyarakat. Ini merupakan cara paling objektif untuk menilai seberapa baik wakil rakyat memenuhi mandat yang diberikan.
Negara Inggris menempatkan pelayanan kesehatan sebagai barometer utama representasi politik. Kualitas National Health Service (NHS) sering menjadi isu pemilu utama, dan krisis kesehatan bisa mengakibatkan hilangnya kursi parlemen. Masyarakat Inggris memahami bahwa perwakilan politik harus memenuhi kebutuhan layanan kesehatan yang cepat, merata, dan bermutu. Anggota parlemen yang gagal memperjuangkan NHS bisa kehilangan legitimasi.
Thailand juga memberikan contoh dengan meluncurkan Universal Coverage Scheme (UCS) pada 2002. Kebijakan ini tidak hanya reformasi kesehatan, tetapi juga instrumen legitimasi politik. Wakil rakyat diukur dari keseriusan mereka mendukung program ini, dengan hasil langsung seperti pengobatan yang lebih murah dan akses tenaga kesehatan yang lebih mudah. Banyak anggota parlemen telah disiplin karena isu kelangkaan obat di beberapa wilayah.
Indonesia bisa belajar dari pengalaman Inggris dan Thailand dengan mendefinisikan ulang keterwakilan politik berdasarkan indikator faktual, dengan kesehatan sebagai prioritas. Bayangkan sistem dimana setiap anggota DPR diuji melalui dashboard kesehatan dapil yang dirilis setiap tahun. Indikatornya bisa mencakup angka kematian ibu dan bayi, prevalensi stunting, hipertensi, diabetes, atau kejadian TBC dan malaria, cakupan imunisasi lengkap, dan angka kecelakaan kerja buruh. Dashboard ini akan terbuka untuk umum dan dibandingkan antar-dapil, sehingga publik bisa menilai apakah wakilnya benar-benar kerja atau hanya menunjukkan prestasi kosong.
Kebijakan ini akan mendorong penggunaan dana aspirasi yang besar secara optimal karena kontrol publik akan memaksa anggota DPR untuk memastikan dana digunakan untuk kemajuan kesehatan di dapil mereka. Meskipun perubahan ini akan mengguncang kenyamanan politik, demokrasi akan lebih sehat karena keterwakilan menjadi konkret dan terukur. Ini adalah saat yang tepat untuk menawarkan proposal kebangsaan agar keterwakilan di DPR diuji berdasarkan kesehatan, karena demokrasi hanya hidup jika representasi divalidasi dengan angka-angka yang nyata dan relevan.
Ray Wagiu Basrowi, Pendiri Health Collaborative Center (HCC), dan Direktur Eksekutif Indonesia Health Development Center (IHDC)
Kesehatan bukan hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang kualitas hidup dan keterwakilan yang benar. Meskipun perubahan membutuhkan waktu dan usaha, setiap langkah kecil menuju sistem yang lebih transparan dan berbasis data adalah langkah menuju demokrasi yang lebih sehat bagi semua.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.