Bamsoet Serukan Semua Pihak untuk Memperkuat Persatuan Nasional Pasca Kerusuhan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Bambang Soesatyo, anggota DPR RI dan Wakil Ketua Umum FKPPI, menyatakan bahwa aksi unjuk rasa yang terjadi akhir Agustus lalu, yang berakhir dengan pengrusakan dan penjarahan, harus menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk berbuat kerusakan dan mengganggu ketertiban.

Dalam Diskusi Kebangsaan HUT FKPPI ke-47 di Jakarta, Bamsoet bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Pontjo Sutowo, Indra Bambang Utoyo, Robert Mangindaan, I Dewa Putu Rai, dan Andi Widjajanto. Dalam kesempatan itu, dia mengungkapkan bahwa demokrasi harus diberi ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, namun hal ini tidak berarti membenarkan tindakan-tindakan yang merusak ketertiban sosial.

Menurutnya, kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan menimbulkan kekacauan. Bamsoet juga mengingatkan pejabat negara agar hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan kontroversial yang bisa membuat situasi semakin rumit.

Dari insiden terakhir, Bamsoet mengambil tiga pelajaran utama. Pertama, pemerintah harus lebih baik dalam komunikasi publik agar aspirasi masyarakat tidak terlalu tertekan dan meluap ke jalanan dengan cara destruktif. Kedua, aparat keamanan harus seimbang antara ketegasan hukum dan pendekatan humanis agar unjuk rasa tetap dalam koridor damai. Ketiga, masyarakat harus lebih matang dalam menyalurkan aspirasi, karena kekerasan hanya akan merugikan rakyat sendiri.

Bamsoet juga menekankan bahwa unjuk rasa bukanlah akhir dari dialog, melainkan bagian dari proses demokrasi. Jika tidak diatur dengan baik, demokrasi bisa berubah menjadi anarki. Oleh karena itu, semua pihak—pemerintah, aparat, DPR, dan masyarakat—harus berkoordinasi untuk menemukan solusi bersama.

Selain itu, dia menegaskan bahwa perubahan global saat ini menimbulkan tantangan yang kompleks, seperti konflik geopolitik, krisis iklim, dan disrupsi teknologi. Laporan Global Risks Report 2025 dari Forum Ekonomi Dunia menempatkan ketiga ancaman tersebut sebagai yang terberat dalam beberapa tahun mendatang. Dampaknya sudah terasa di Indonesia, seperti kenaikan harga pangan, ketidakpastian energi, serangan siber, dan potensi migrasi iklim di Asia Tenggara.

Bamsoet juga memperingatkan tentang ancaman siber yang semakin parah. Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dalam enam bulan pertama 2025, sudah terjadi lebih dari 1,7 miliar serangan siber terhadap infrastruktur digital nasional. Serangan seperti itu bisa melumpuhkan pusat data, mengacaukan layanan publik, bahkan mengganggu sistem transportasi dan kesehatan.

Tahun 2024, pusat data nasional pernah terganggu akibat serangan ransomware, menyebabkan tertibnya beberapa layanan publik terganggu. Krisis ini memaksa pemerintah melakukan audit besar-besaran terhadap sistem keamanan data negara.

Selain serangan siber, perang informasi juga menjadi ancaman serius. Disinformasi dan hoaks terus beredar, terutama saat Pemilu atau ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis. Narasi palsu yang terorganisir bisa memecah belah masyarakat, menguatkan polarisasi, dan bahkan menggerakkan massa. Jika tidak ditangani dengan serius, polarisasi ini bisa mengancam persatuan bangsa.

Di tengah tantangan global yang semakin rumit, Indonesia harus lebih bersatu dan siap menghadapi berbagai ancaman. Persatuan bukan hanya sekedar simbol, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan yang kuat dan kemampuan yang tangguh. Literasi informasi juga perlu diperluas agar masyarakat lebih waspada terhadap disinformasi dan hoaks. Dengan demikian, Indonesia bisa tetap berdiri kuat di tengah perubahan global yang dinamis.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan