Pemerintahan Baru, Revolusi Pasokan dan Pertumbuhan Ekonomi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ekonom dari Banking Academy of Vietnam, Lan Chu Khanh, bersama Hung Chu Viet dari jurusan matematika, Washington dan Lee University, Amerika Serikat, telah merilis sebuah penelitian dengan judul “Apakah likuiditas yang berlebihan berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi?” Studi mereka melibatkan sampel dari 136 negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap awal, likuiditas keuangan memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi. Namun, jika proporsi penyaluran kredit kepada sektor swasta terhadap PDB mencapai 104%, likuiditas keuangan akan berbalik dan memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Analisis ini berdasarkan data periode 1961-2000, menampilkan bahwa peningkatan likuiditas melalui kredit perbankan telah memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, dengan data yang diperbarui hingga tahun 2015, pengaruh tersebut menjadi sangat minimal dan statistik tidak signifikan.

Dengan demikian, langkah-langkah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam menambahkan likuiditas ke dalam perekonomian mungkin tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka menengah dan panjang. Solusi yang lebih efektif adalah dengan mengaplikasikan insentif fiskal untuk mendorong revolusi sisi produksi.

Masalah utama dalam perekonomian Indonesia tidak terletak pada sisi permintaan, melainkan pada sisi pasokan atau suplai. Hal ini terlihat dari fenomena premature deindustrialization, di mana bangsa Indonesia belum sempat menjadi kaya sebelum berpindah ke sektor perdagangan dan jasa. Laporan Bank Dunia untuk Indonesia, bertajuk “Indonesia: Avoiding The Trap,” menekankan pentingnya revolusi sisi produksi untuk mengatasi masalah struktural seperti ketimpangan pendapatan per kapita dan perbedaan perekonomian antarwilayah. Dalam satu dekade terakhir, perekonomian nasional mengalami jumping transformation, yaitu melompat langsung dari sektor primer ke tersier, sementara sektor industri (sekunder) tidak berkembang optimal. Kontribusi sektor industri dalam output nasional bahkan mengalami penurunan, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,0% yang diikuti oleh gini ratio dan indeks Williamson yang tinggi. Ketimpangan ini disebabkan oleh strategi kebijakan makro yang lebih mengutamakan sisi permintaan (demand side view) dibandingkan sisi pasokan (supply side view), seperti yang sedang diimplementasikan oleh Menteri Keuangan baru, Purbaya Sadewa. Insentif yang diberikan lebih berfokus pada instrumen suku bunga, kemudahan akses pembiayaan, dan kenaikan rasio kredit terhadap simpanan.

Akibatnya, dengan sisi produksi yang tidak berkembang optimal, kelebihan likuiditas di sektor perbankan menyebabkan kredit lebih banyak dialokasikan untuk membiayai konsumsi dan perdagangan daripada investasi. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu adanya fokus pada revolusi sisi produksi agar dapat mempercepat transformasi struktural perekonomian. Hal ini melibatkan pergeseran dari pertumbuhan yang didorong oleh eksploitasi sumber daya alam ke produktivitas penggunaan tenaga kerja dan modal. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain mengubah arah manajemen makroekonomi dari focus pada sisi permintaan menjadi campuran kebijakan demand side dengan supply side view. Selanjutnya, perlu dibentuk aglomerasi ekonomi baru dan mengatasi kekurangan infrastruktur, terutama di Kawasan Timur Indonesia, dengan meningkatkan belanja infrastruktur hingga mencapai lebih dari 10% dari PDB, mirip dengan yang dilaksanakan Tiongkok. Selain itu, perlu dilakukan perbaikan kualitas angkatan kerja yang masih didominasi lulusan Sekolah Dasar hingga SMP. Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa pertumbuhan industri mereka diikuti dengan peningkatan permintaan tenaga kerja lulusan pendidikan teknik dan kimia. Terakhir, perlu dilakukan kaji ulang terhadap kebijakan yang menyebabkan inefisiensi industri dan menghambat kompetisi di dalam negeri, seperti kebijakan batas harga atau tarif di sejumlah komoditas atau sektor ekonomi utama. Kebijakan ini menghambat peningkatan efisiensi dan produktivitas industri nasional, padahal pengalaman negara maju menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang didorong oleh pertumbuhan produktivitas (Total Factor Productivity – TFP Growth).

Kunci untuk membangun perekonomian yang lebih sehat dan berkelanjutan terletak pada transformasi struktural yang fyokus pada sisi produksi. Dengan memperbaiki kualitas tenaga kerja, meningkatkan investasi infrastruktur, dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kompetitif, Indonesia dapat merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan