Nepal Hadapi Tantangan Politik Pasca Keruntuhan Pemerintahan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Khadga Prasad Oli, perdana menteri Nepal, mengakhiri jabatannya pada Senin (9/9) setelah gelombang protes massa yang melanda negara Himalaya. Langkah ini diambil setelah kerusuhan yang meluas, mengakibatkan pembakaran beberapa lokasi penting seperti kediaman Presiden Ram Chandra Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.

Dalam surat pengunduran diri yang diajukan kepada Presiden, Oli menyatakan keputusan tersebut sebagai upaya untuk mengatasi situasi yang memprihatinkan dan menemukan solusi politik sesuai dengan peraturan konstitusi.

Pakar hukum Bipin Adhikari dari Universitas Kathmandu menekankan bahwa tanpa pembentukan pemerintahan persatuan nasional, Nepal bisa terjerumus dalam kacau politik yang panjang. Dia menyoroti bahwa tidak ada ketentuan jelas dalam konstitusi tentang langkah selanjutnya dalam kondisi seperti ini. Salah satu opsi yang mungkin adalah presiden membentuk pemerintahan konsensus nasional dengan pemilihan perdana menteri dari parlemen.

C.D. Bhatta, ilmuwan politik dari Friedrich Ebert Foundation, mengemukakan bahwa semua partai politik saat ini mencoba memanfaatkan situasi untuk merebut kekuasaan. “Kini kita memasuki kekosongan politik dan konstitusional,” katanya. Bhatta menambahkan bahwa solusi terbaik saat ini adalah pembentukan pemerintahan sipil sementara dengan dukungan militer.

Nepal, yang terletak antara India dan Cina, telah mengalami ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi selama dua dekade terakhir. Kerusuhan baru-baru ini dimulai setelah pemerintah melarang 26 platform media sosial, termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp. Pemerintah beralasan bahwa platform-platform tersebut tidak mematuhi aturan baru tentang pendaftaran kantor penghubung di Nepal.

Namun, para pengkritik menuduh langkah ini sebagai usaha untuk menekan kebebasan ekspresi dan membungkam oposisi. Tara Nath Dahal dari Freedom Forum Nepal menyebut larangan tersebut sebagai upaya putus asa pemerintah untuk menekan lawan politik.

Protes yang melibatkan anak muda berusia 18–30 tahun tidak hanya dipicu larangan media sosial, tetapi juga frustrasi terhadap korupsi dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Mereka menolak sistem politik saat ini dan menuntut kepemimpinan yang lebih transparan dan adil.

Pada Senin (8/9), ribuan demonstran menggelar aksi besar di Kathmandu, mengepung gedung Parlemen. Serangan kekerasan dari aparat keamanan menewaskan 19 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok HAM mendesak investigasi independen atas aksi brutal tersebut.

Pemerintah akhirnya membatalkan larangan media sosial pada Selasa pagi, tetapi protes terus berlanjut meski Pemerintah menetapkan jam malam tanpa batas. Militer Nepal meminta masyarakat untuk tetap tenang, sementara beberapa negara seperti India, Australia, dan Amerika Serikat mendesak semua pihak untuk menghindari eskalasi.

Nepal kini menghadapi tantangan memulihkan stabilitas politik di tengah kemarahan masyarakat yang terus berlanjut. Keberhasilan dalam membentuk pemerintahan baru dan memenuhi tuntutan masyarakat akan menentukan masa depan politik negara Himalaya ini.

Setiap krisis mengungkapkan kelemahan sistem, tetapi juga peluang untuk perubahan. Nepal saat ini dihadapkan pada pilihan—melanjutkan sikap keras atau membuka diri pada reformasi yang sesungguhnya. Generasi muda Nepal telah menunjukkan bahwa mereka tidak lagi siap menerima status quo dan butuh kepemimpinan yang benar-benar peduli pada kepentingan rakyat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan