China memakai protokol COVID-19 untuk menghentikan penyebaran chikungunya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pejabat kesehatan di wilayah selatan China telah melaksanakan upaya penuh untuk mengendalikan penularan penyakit chikungunya selama hampir dua bulan, menerapkan strategi serupa dengan kebijakan nol-Covid yang pernah dijalankan sebelumnya.

Sejak bulan Juli, provinsi Guangdong merinci lebih dari 10.000 kasus infeksi virus ini, yang umumnya tersebar di kawasan tropis. Foshan, sebuah kota industri padat penduduk di Guangdong, menjadi pusat wabah dengan lebih dari 600 kasus baru per hari pada titik puncaknya, angka yang jauh melebihi total 519 kasus yang dilaporkan di seluruh wilayah daratan China dari tahun 2010 hingga 2019.

Menurut laporan NBC News, wabah yang tak terduga ini memaksa pemerintah untuk mengadopsi metode pengendalian yang mirip dengan pendekatan “deteksi dan pengecatan” pada masa pandemi Covid-19.

Untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, tim kerja dilaporkan menyemprotkan insektisida berkala di daerah terbatas, sementara warga yang menderita diharapkan segera melaporkan kondisinya dan mematuhi perintah karantina.

“Dengan perubahan cepat yang terjadi saat ini, infeksi dapat menyebar dengan sangat cepat,” ujar Jasper Chan, profesor mikrobiologi klinis dan infeksi di Universitas Hong Kong.

Dalam upaya pelestarian kesehatan, pemerintah memerintahkan pekerja untuk melakukan pemeriksaan dan penyemprotan di jalan-jalan, serta membersihkan tempat-tempat yang mungkin menjadi sarang nyamuk. Fasilitas kesehatan telah mempersiapkan area khusus untuk pasien, sementara penduduk didorong untuk menggunakan jendela berjaring dan menggunakan kumparan nyamuk di rumah.

Pelanggaran terhadap perintah kesehatan dapat mengakibatkan sanksi berupa peringatan, denda, atau bahkan tuntutan hukum. Beberapa warga mengkritik kegiatan pemerintah yang dianggap berlebihan, sementara yang lain menyambut baik tindakan cepat tersebut.

“Sangat menyenangkan melihat sampah lama di area umum dibersihkan,” tulis seorang pengguna di RedNote, platform media sosial Cina yang mirip dengan Instagram. “Tetapi sepertinya terlalu ekstrim dalam hal membuang bahkan mangkuk air kucing. Ini adalah contoh klasik dari solusi universal yang tidak cocok untuk semua situasi.”

Tindakan pengendalian yang ketat telah meredakan wabah tersebut. Pada 25 Agustus, Foshan melaporkan bahwa kasus harian baru telah menurun di bawah angka 50 selama tujuh hari berturut-turut. Pejabat kesehatan kemudian mengumumkan bahwa kota dengan lebih dari 9 juta jiwa telah mengakhiri status darurat kesehatan masyarakat setelah persiapan selama sekitar satu bulan.

Penyakit chikungunya, yang ditularkan oleh nyamuk, dapat menimbulkan gejala seperti demam, nyeri sendi, dan sakit kepala. Meskipun tidak ada vaksin yang tersedia saat ini, upaya pengendalian vektor dan pengawasan kesehatan masyarakat sangat penting untuk mencegah penyebarannya.

Strategi China dalam mengatasi wabah ini menunjukkan betapa pentingnya kerja sama antar komunitas dan pengambilan tindakan cepat dalam mengatasi ancaman kesehatan publik. Bahkan di era pasca-pandemi, metode yang digunakan selama Covid-19 masih relevan dalam menanggapi wabah penyakit lain.

Dengan mengadopsi cara yang serupa, China berhasil mengurangi kasus chikungunya secara signifikan, membuktikan bahwa pengendalian penyakit menular memerlukan kombinasi antara teknologi, edukasi masyarakat, dan pelaksanaan kebijakan yang tegas. Masyarakat dapat belajar dari pengalaman ini bahwa peran individu juga penting dalam mencegah penyebaran penyakit, baik melalui pelaksanaan protokol kesehatan maupun partisipasi aktif dalam program pencegahan.

Wabah chikungunya di China menjadi contoh menjelang bahwa pandemi bukanlah masalah yang bisa ditanggung sendiri. Kerja sama antar pemerintah, ahli kesehatan, dan masyarakat adalah kunci utama untuk memastikan kebersihan dan kesehatan publik.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan