Pengujian Ulang dalam RUU KUHAP Dibahas dengan Panas

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus menjadi perhatian utama. Selain harus diselaraskan dengan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, beberapa norma masih diperdebatkan karena reaksi publik. Salah satu poin yang menimbulkan kontroversi adalah mekanisme praperadilan. Saat ini, proses praperadilan memiliki beberapa kekurangan, seperti hanya dapat dilakukan setelah pelanggaran prosedur upaya paksa (post factum), hanya memeriksa aspek formal, dan waktu pemeriksaan yang singkat (hanya 7 hari) yang berakhir jika perkara pokok sudah dimulai.

Keadaan ini membuat muncul hipotesis bahwa diperlukan mekanisme yang lebih kuat dalam praperadilan untuk menjamin kejelasan dan tanggung jawab dalam upaya paksa. Hal ini juga harus mengikutsertakan Pasal 9 ayat (3) ICCPR, yang menyatakan bahwa setiap orang yang ditahan atau dikenakan upaya paksa lainnya harus segera dihadapkan ke hakim. Aturan ini seharusnya menjadi dasar untuk pengawasan hakim guna memastikan pelaksanaan upaya paksa sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM).

Dalam RUU KUHAP, semua upaya paksa menjadi objek praperadilan. Namun, Pasal 149 ayat (1) huruf a mengecualikan upaya paksa yang telah mendapat izin dari ketua pengadilan. Hal ini berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, yang memutuskan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan harus memenuhi batasan 2 alat bukti minimal. KUHAP sebelumnya tidak menjelaskan batasan ini, berbeda dengan UU No. 30/2002 yang jelas mengatur minimal 2 alat bukti.

Sementara itu, penetapan tersangka masih menjadi bagian dari proses penyidikan. Pertanyaan muncul, apa yang akan terjadi jika penetapan tersangka salah? Secara konseptual, tidak masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan tidak bertentangan dengan hukum internasional, karena Indonesia mengikuti model due process. Namun, subtansi Pasal 77 huruf a KUHAP tetap sesuai dengan Pasal 9 ICCPR, yang melindungi HAM. Selain itu, Hakim Aswanto menyatakan bahwa penetapan tersangka bukan persoalan penafsiran, sebab Pasal 77 tidak secara explisit mengatur hal tersebut.

Masalah lain muncul pada pengaturan upaya paksa dalam RUU KUHAP, terutama terkait penangkapan. Pasal 89 tidak menetapkan bahwa penangkapan harus didasarkan pada izin pengadilan, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan. Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP bahkan mengizinkan penangkapan tanpa batas waktu jika jarak antara tempat tersangka dan kantor penyidik terdekat lebih dari sehari. Hal ini tidak memberikan jaminan kejelasan prosedur.

Standar internasional menetapkan bahwa penangkapan hanya boleh dilakukan selama 48 jam, setelahnya harus dihadapkan kepada hakim. RUU KUHAP juga tidak jelas mengatur perbedaan syarat 2 alat bukti dalam penetapan tersangka dan penangkapan. Syarat penahanan di Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP lebih banyak daripada KUHAP, namun alasan penahanan seperti memberikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta bertentangan dengan hak ingkar tersangka.

Penggeledahan informasi elektronik di Pasal 105 huruf e RUU KUHAP masih ambig. Frasa “keadaan mendesak” pada Pasal 106 ayat (4) perlu dijelaskan dengan lebih jelas, termasuk dalam maksudnya seperti ancaman keselamatan atau bukti yang akan dihancurkan. Pasal 112 ayat (2) juga tidak mengatur jangka waktu pemberitahuan ke pengadilan jika penyitaan dilakukan dalam keadaan mendesak.

Untuk penyadapan, RUU KUHAP tidak membatasi tindak pidana yang dapat diakses melalui cara ini. Kategori tindak pidana seperti perdagangan orang, korupsi, dan terorisme harus ditetapkan dengan jelas. Selain itu, mekanisme pemberitahuan penyadapan perlu diatur guna memberikan akses hak bagi individu yang menjadi target, termasuk pengembalian data dan ganti rugi.

Gagasan utama yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah pentingnya menjamin kejelasan dan perlakuan yang adil dalam proses hukum pidana. RUU KUHAP harus disempurnakan agar sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan standar internasional, sehingga upaya paksa dapat dilaksanakan dengan transparansi dan tanggung jawab. Hanya dengan demikian, sistem peradilan Indonesia akan lebih terpercaya dan menjamin hak-hak warganya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan