Meneliti Hubungan Antara Depresi dan Minat Menonton Video Mukbang

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mukbang, sebuah fenomena konten video yang populer, melibatkan aktivitas makan dalam jumlah besar sambil berinteraksi dengan penonton. Istilah ini berasal dari bahasa Korea, yang menggabungkan kata “meokneun” (makan) dan “bangsong” (siaran). Video-video ini seringkali menjadi teman makan bagi banyak orang.

Studi terbaru yang diterbitkan di jurnal BMC Psychiatry pada tahun 2025 mengungkapkan hubungan antara kebiasaan menonton mukbang dan risiko depresi. Penelitian ini melibatkan 1.210 orang dewasa berusia 20-64 tahun, dengan rata-rata usia 43,5 tahun, yang dilakukan antara 4-23 Juli 2024 di Korea Selatan.

Peserta dalam penelitian tersebut dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan frekuensi menonton mukbang. Skala depresi yang digunakan mengukur tingkat keparahan gejala, dengan kategorisasi minimal (0-4), ringan (5-9), sedang (10-19), dan berat (20-27). Dari hasil survei, 47,5 persen responden mengaku sering menonton mukbang, sedangkan prevalensi depresi secara keseluruhan tercatat sebesar 18,4 persen.

Peneliti menghubungkan tingkat depresi yang lebih tinggi dengan berbagai faktor, termasuk usia muda, pendapatan rendah, pendidikan rendah, adanya kebiasaan binge eating minimal sekali per minggu, serta frekuensi dan durasi menonton mukbang yang lebih tinggi. Spesifiknya, mereka yang menonton mukbang minimal tiga kali seminggu memiliki risiko depresi lebih besar dibandingkan mereka yang tidak menonton sama sekali.

Ditemukan bahwa 38,3 persen peserta tidak mengalami perubahan pola makan setelah menonton mukbang. Sedangkan sisanya melaporkan perubahan seperti meniru resep, memasak makanan yang ditampilkan, atau mengonsumsi porsi makan yang lebih besar. Namun, penelitian ini belum dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat antara menonton mukbang dan depresi.

Peneliti menawarkan dua hipotesis terkait hubungan ini. Pertama, mukbang dapat menjadi salah satu strategi coping bagi individu yang mengalami tekanan emosional atau kesepian. Video-video ini sering menciptakan ilusi kehadiran sosial, membantu penonton merasa terhubung, meskipun sebenarnya mereka sedang berada sendirian. Kedua, ada kemungkinan hubungan dua arah di mana orang dengan gejala depresi aktif mencari konten mukbang sebagai bentuk hiburan, dan justru memperparah kondisi mereka.

Perkembangan kebiasaan ini mengundang perhatian lebih lanjut, terutama dalam konteks kesehatan mental saat ini. Bagaimana kita bisa mengoptimalkan penggunaan media digital tanpa merugikan kesejahteraan jiwa?

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan