Penangkapan Tersangka Penghasutan yang Melanggar Hukum Pelindungan Anak dan Kepentingan Umum

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pengungkapan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mengenai pelaku penghasutan, yang meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penetapan tersangka, tidak dapat dipahami sebagai pengancaman terhadap kebebasan sipil atau upaya pengambinghitaman dengan menciptakan narasi pelanggaran prinsip due process of law. Kebebasan sipil dalam konteks supremasi sipil di dalam due process of law tidak boleh merugikan kepentingan umum, terutama dalam melindungi hak-hak anak yang dijamin undang-undang. Oleh karena itu, kebebasan sipil harus dibedakan dengan penegakan hukum yang bertujuan melindungi kepentingan umum dan menjamin hak-hak anak dari pelanggaran hukum.

Tindakan penangkapan oleh penyidik Kepolisian didasarkan pada prinsip hukum pidana Indonesia, yakni nullum delictum nulla poena sine legality dan crime control model, seperti yang termeksis dalam KUH Pidana dan KUHAP. Prinsip ini membatasi hak-hak sipil, sehingga agar hak-hak sipil tidak dibatasi oleh hukum, maka harus dihindari pelanggaran atau kejahatan. Dalamargumentasi, dicatat bahwa “keinginan perubahan suatu keadaan harus dimulai dari perubahan diri sendiri (innallaha la yughayyiru bi qoumin hatta yugairu ma biamfusihim).”

Pemahaman prinsip equitas sequitur legem (prosedural) harus benar, khususnya dalam mekanisme hukum pidana terkait pengawasan horizontal untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum. Hal ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan (lex), sehingga seharusnya mekanisme ini menjadi implementasi prinsip due process of law, bukan narasi ancaman terhadap kebebasan sipil.

Due process of law dalam hukum pidana berfokus pada crime control model dan due process model, sehingga narasi penegakan hukum sebagai upaya pengambinghitamkan terlalu dini dapat diyakini sebagai usaha untuk mendapatkan simpati publik. Ini dikhawatirkan sebagai upaya mendegradasi institusi kepolisian yang menjaga ketertiban umum, kebutuhan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam menangani kasus penghasutan memiliki tujuan melindungi kepentingan umum dan anak korban. Ini didukung oleh bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang mengatur minimum bewijs atau kuantitas bukti relevan dengan tindak pidana. Penyidik menerapkan Pasal 160 KUH Pidana, Pasal 87 Jo Pasal 76H Jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, atau Pasal 45A ayat (3) Jo Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE.

Penerapan pasal-pasal ini menunjukkan adanya eendaadse samenloop atau meerdaadse samenloop, di mana eendaadse samenloop memperhatikan prinsip lex specilais versus lex specialis, lex specialis sistematis, dan lex consumen derogat legi consumte, berbeda dengan meerdaadse samenloop.

Definisi menghasut (opruien) harus dibedakan dari menggerakkan, menganjurkan, atau berusaha menggerakkan. Menghasut adalah membuat seseorang berminat, bernafsu, atau mendendam sehingga melakukan tindak pidana. Tujuan penghasutan adalah mendorong orang lain melakukan pelanggaran hukum, baik melalui tulisan maupun ucapan. Dalam Pasal 55 KUH Pidana, tidak dipersoalkan upaya penghasut, namun menurut Black’s Law Dictionary, menghasut adalah “provocation” atau sesuatu yang mempengaruhi akal dan kendali seseorang sehingga melakukan tindak pidana secara impulsif.

Menurut R. Soesilo, menghasut berarti mendorong, mengajak, atau membangkitkan semangat seseorang untuk melakukan tindakan. Kata “menghasut” berarti dengan sengaja, lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, tetapi bukan “memaksa”. Délik ini dianggap sempurna jika pelaku mengeluarkan kata-kata penghasutan. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009, Jaksa harus membuktikan hubungan kausalitas antara perbuatan penghasutan dan akibat yang dihasilkan.

Alpi Sahari, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Pelaku penghasutan harus dihadapkan dengan keterbatasan hak sipilnya jika tindakannya melanggar hukum. Penegakan hukum harus selalu berlandaskan prinsip yang jelas dan tidak perlu dicemaskan sebagai ancaman kebebasan sipil. Pemahaman yang tepat tentang prinsip-prinsip hukum pidana dan due process of law dapat memastikan penegakan hukum berjalan dengan adil dan transparan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan