Pembiayaan Program Prabowo Menimbulkan Sentimen Negatif Ekonomi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Skema burden sharing yang dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan telah menuai berbagai kiriman kritik. Inisiatif ini bertujuan untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, khususnya Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih. Pendanaan ini dilakukan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, dengan total pembiayaan mencapai Rp 200 triliun. Namun, Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif CELIOS, mengungkapkan bahwa tindakan ini tidak dilakukan dalam situasi krisis.

“Penerapan burden sharing bukanlah tindakan yang dilakukan saat kondisi krisis, kecuali pemerintah dan BI memang memandang saat ini sebagai masa krisis,” ujarnya dalam keterangan kepada Thecuy.com, Jumat (5/9/2025).

Bhima juga mengkritik bahwa kebebasan Bank Indonesia semakin terancam dan menyerupai Dewan Moneter pada era Orde Baru. Dewan Moneter, sebagai lembaga yang mengatur kebijakan moneter, kredit, dan perbankan, sebelumnya dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan Gubernur BI sebagai anggota. Keberadaan lembaga tersebut membuat BI kehilangan kemerdekaannya karena kebijakan moneter harus sejalan dengan kebijakan pemerintah. Sejak 1999, BI telah secara resmi memiliki status independen.

Selain itu, ia meragukan dampak inflasi akibat peningkatan uang beredar tanpa adanya kenaikan permintaan yang seimbang. Strategi ini juga dapat mengganggu stabilitas keuangan jangka panjang. Bhima juga menandai potensi penurunan rating utang pemerintah karena BI membiayai program yang dianggap berisiko, terutama Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP).

Ekonom senior dan Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, setuju dengan pendapat Bhima. Menurutnya, kebijakan burden sharing akan merusak kemerdekaan BI yang seharusnya fokus pada kebijakan moneter. “Dengan adanya burden sharing, kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal akan ditangani oleh BI. Sektor moneter yang dikelola oleh BI tidak boleh mengubah kebijakan fiskal,” katanya.

Nailul menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus dapat mengatur anggaran dengan bijak. Skema ini hanya dapat diterapkan dalam situasi krisis atau untuk memberikan bantuan langsung kepada masyarakat. “Selama pandemi Covid-19, sektor swasta tidak bisa bergerak dengan cepat, sehingga bantuan langsung ke masyarakat diperlukan. Namun, saat ini, kondisi ekonomi masih stabil, dan pemerintah telah memberikan stimulus melalui kebijakan fiskal. Tidak ada alasan untuk meminta BI menanggung utang bersama,” tambahnya.

Ia juga menambahkan bahwa utang dengan beban bunga yang ditanggung oleh BI dan pemerintah digunakan untuk program-program yang menurutnya berisiko tinggi. Dengan demikian, risiko fiskal yang dihadapi tidak hanya saat ini, tetapi juga akan lebih besar pada masa depan. Pembayaran bunga utang akan semakin besar, sehingga kapasitas pemerintah untuk membuat kebijakan ekonomi yang pro-rakyat akan terbatasi.

“Strategi ini menunjukkan bahwa BI mungkin akan menggunakan kas yang ada terlebih dahulu. Namun, jika tidak mencukupi, pasti akan mencetak uang baru. Jadi, BI membeli SBN dengan kas yang ada atau mencetak uang, sehingga likuiditas di masyarakat bisa terjaga. Namun, cara pembelian SBN ini tampaknya melalui pencetakan uang baru setelah kas BI habis,” jelas Nailul.

Sebagai catatan, skema burden-sharing sebelumnya pernah digunakan untuk mendanai pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Dalam skema ini, Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan dasar suku bunga reverse repo. “Pemerintah membayar bunga sesuai jatuh tempo, tetapi pada hari yang sama BI mengembalikan bunga itu ke pemerintah sebagai bentuk kontribusi. Singkatnya, ini adalah cara mencetak uang yang kemudian disalurkan ke Kemenkeu untuk mendukung belanja fiskal,” terang dalam publikasi Asian Development Bank, dikutip Jumat (5/9/2025).

Studi terkini menunjukkan bahwa penggunaan burden sharing untuk mendanai program pemerintah dengan risiko tinggi dapat menyebabkan dampak negatif jangka panjang pada stabilitas ekonomi. Analisis menunjukkan bahwa peningkatan utang pemerintah yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi kredibilitas fiskal negara dan memicu krisis kepercayaan investor.

Studi kasus dari negara lain menunjukkan bahwa pencetakan uang tanpa dukungan permintaan pasar dapat menyebabkan inflasi yang tidak terkontrol. Seperti yang terjadi di Zimbabue, pencetakan uang yang berlebihan tanpa dukungan ekonomi nyata melahirkan hiperinflasi yang merusak ekonomi negara. Hal ini menunjukkan pentingnya keterbatasan dalam penggunaan skema burden sharing untuk menjaga stabilitas keuangan.

Selain itu, infografis terbaru menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil menjaga ketertelusan fiskal memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan kredibilitas yang lebih tinggi di mata pasar global. Ini menguatkan argumen bahwa kebijakan moneter dan fiskal harus dipisahkan untuk menjaga kemerdekaan dan kredibilitas lembaga keuangan.

Menjaga kelestarian kebijakan moneter dan fiskal adalah kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi. Pemerintah dan BI harus bekerja sama dengan bijak, tetapi dengan batasan yang jelas, agar tidak terjadi penyalahan tanggung jawab yang dapat membahayakan ekonomi negara pada masa depan.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan