Saatnya Membersihkan Hati dan Membangun Semula Nasionalisme yang Sejati

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Nelson Mandela adalah tokoh yang membuktikan betapa seorang pemuda bisa mengubah dunia dengan pemikiran yang jernih dan tindakan yang kuat. Ia hidup dalam sistem apartheid yang menindas mayoritas warga Afrika Selatan.

Selama masa mudanya, Mandela tidak hanya mengkritik, tetapi juga beraksi dengan strategi politik yang matang. Ia memerangi ketidakadilan dan mempertahankan kesetaraan, meski harus menghabiskan 27 tahun di penjara.

Meskipun begitu, Mandela tidak biarkan kebencian menguasai hatinya. Ketika akhirnya bebas, ia memilih jalan rekonsiliasi daripada balas dendam.

Mandela mendirikan Truth and Reconciliation Commission, yang memungkinkan pelaku apartheid mengakui kesalahan mereka tanpa takut dihukum. Dengan cara ini, ia mencegah pertumpahan darah dan memperkuat persatuan di Afrika Selatan.

Ia juga mendorong semua warga, baik berwarna putih maupun hitam, untuk bersama-sama membangun negara yang baru. Salah satu langkah simbolisnya adalah mendukung tim rugby nasional Afrika Selatan, yang sebelumnya dianggap sebagai lambang kepentingan kulit putih.

Dengan pendekatan ini, Mandela berhasil menyatukan bangsanya dan menciptakan perdamaian di tengah perbedaan. Bayangkan jika ia memilih balas dendam, bukan rekonsiliasi. Afrika Selatan mungkin masih terjebak dalam konflik panjang.

Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman, sering kali terpecah oleh politik dan kepentingan pribadi. Kita marah saat melihat ketidakadilan, kecewa dengan janji-janji yang tidak terpenuhi, dan lelah dengan perpecahan yang terus menggerogoti bangsa.

Namun, apakah kita akan diam? Apakah kita akan membiarkan rasa putus asa menang? Sekarang, kita tidak lagi melawan penjajah dengan senjata, melainkan melawan kebodohan, hoaks, korupsi, dan apatisme.

Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar selalu dimulai oleh pemuda. Dari pergerakan kemerdekaan hingga reformasi, generasi muda selalu menjadi pelopor perubahan.

Tidak jarang, beberapa pemuda bercita-cita menjadi pemimpin. Sejak kecil, mereka diajarkan bahwa kejujuran adalah kunci kehormatan, dan seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyat. Namun, saat tumbuh dewasa dan melihat dunia politik yang penuh kepentingan, mereka bertanya-tanya: Apakah kejujuran masih memiliki tempat dalam politik?

Kejujuran adalah pilar utama kepercayaan publik dalam politik. Tanpa kejujuran, politik kehilangan artisanya sebagai alat untuk mengelola negara demi kesejahteraan rakyat. Jacinda Ardern, salah satu pemimpin dunia yang terkenal dengan kejujuran dan kepemimpinan empatik, membuktikan bahwa integritas dan emosi positif adalah kekuatan dalam membangun kepercayaan.

Ketika terjadi serangan teror di Christchurch yang menewaskan 51 orang, Ardern menunjukkan emosi yang luar biasa. Ia mengenakan kerudung sebagai tanda hormat kepada komunitas Muslim dan segera memperketat undang-undang senjata. Keputusan pengunduran dirinya pada Januari 2023 juga menunjukkan bahwa politik bukan tentang ambisi pribadi, melainkan tentang pengabdian.

“Menjadi kuat bukan berarti harus keras. Menjadi pemimpin bukan berarti harus mendominasi. Keberanian sejati adalah memimpin dengan empati,” ucap Ardern.

Sayangnya, seringkali politik di Indonesia dipenuhi janji manis yang tidak terwujud setelah pemilu berakhir. Transparansi menjadi hal yang langka, dan rakyat hanya bisa menonton dari jauh tanpa tahu bagaimana keputusan diambil atau kemana uang negara digunakan.

Apakah kita harus terus membiarkan hal ini terjadi? Apakah kita akan diam dan pasrah, atau justru bergerak untuk menuntut perubahan? Mandela telah menunjukkan bahwa politik bersih bukanlah mimpi, tetapi bisa diwujudkan dengan keberanian untuk jujur, menolak balas dendam, dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.

Situasi politik Indonesia sering kali terwarnai oleh polarisasi antara kelompok-kelompok dengan kepentingan berbeda. Pemuda harus belajar dari Mandela dengan membangun jembatan antar kelompok, bukan memperdalam perpecahan.

Diskusi lintas kelompok dan ruang dialog inklusif bisa menjadi solusi untuk meredakan ketegangan. Indonesia tidak akan maju jika terus terpecah. Saatnya mengutamakan rekonsiliasi, bukan polarisasi. Berhenti melihat perbedaan sebagai alasan bermusuhan, tapi sebagai kekuatan untuk membangun bangsa.

Seperti Mandela, yang memilih rekonsiliasi daripada balas dendam setelah bertahun-tahun dipenjara. Ia tahu bahwa Afrika Selatan tidak akan maju jika terjebak dalam dendam dan pertikaian politik yang tidak berujung.

Mandela merangkul lawannya, bukan untuk mengalahkan, tetapi untuk membangun negeri yang lebih baik. Hari ini, kita membutuhkan pemimpin dan pemuda yang memiliki kebesaran jiwa seperti mereka.

Pemimpin yang berani mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Pemuda yang tidak terjebak dalam fanatisme politik sempit, tetapi mampu berpikir luas untuk mencari solusi bagi bangsa.

Indonesia tidak membutuhkan lebih banyak perpecahan, tetapi lebih banyak jiwa yang rela mengorbankan ego demi masa depan yang lebih baik. Kebanggaan sebagai bangsa tidak ditentukan oleh segelintir orang, tetapi oleh mereka yang berani mengutamakan kepentingan bersama.

Jika kita benar-benar mencintai Indonesia, berhentilah menjadikan politik sebagai ajang pertarungan. Jadikanlah politik sebagai alat untuk membangun. Berhentilah mencari kemenangan pribadi di atas penderitaan rakyat.

Dalam sejarah, kejayaan tidak lahir dari perpecahan, tetapi dari persatuan. Indonesia, negeri yang didirikan atas semangat gotong royong dan keanekaragaman, sekarang diuji: Apakah kita masih memiliki jiwa besar untuk mendahulukan bangsa daripada kepentingan pribadi?

Di setiap sudut negeri, kita melihat pertarungan kepentingan yang sering melupakan akar perjuangan bangsa. Politik yang seharusnya menjadi alat untuk kesejahteraan rakyat, justru sering digunakan untuk memperkuat dominasi segelintir.

Debat yang seharusnya melahirkan solusi, berubah menjadi ajang saling menjatuhkan. Kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat, tersandera oleh ambisi kelompok tertentu.

Namun, sejarah mengajarkan bahwa kejayaan bangsa tidak ditentukan oleh kekuasaan, tetapi oleh mereka yang berani menanggalkan ego demi kepentingan yang lebih besar. Lihatlah para pendiri bangsa—Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan pejuang lainnya. Mereka berbeda latar belakang dan ideologi, tetapi memilih persatuan demi negara.

Ketika nasionalisme dibelokkan oleh politik identitas, Indonesia tidak akan maju jika terus sibuk bertikai. Gerakan sosial berbasis gotong royong dan kerja sama antar komunitas bisa menjadi solusi untuk mengembalikan nasionalisme yang sehat dan membangun persatuan.

Jangan hanya menjadi saksi zaman, tapi jadilah pembawa perubahan. Indonesia tidak akan berubah jika kita hanya menunggu. Indonesia akan berubah jika kita bertindak.

“Sebuah bangsa tidak akan runtuh oleh musuh dari luar, tetapi oleh kebencian di dalamnya,” ujar Nelson Mandela.

Nasionalisme sejati bukan hanya kebanggaan, tetapi kesadaran untuk membangun kebersamaan, kesetaraan, dan persatuan tanpa kebencian. Nasionalisme yang sehat adalah ketika kita melihat sesama anak bangsa sebagai saudara, bukan musuh.

Politik identitas seringkali menyamar sebagai nasionalisme. Ada pihak yang mengklaim membela kepentingan bangsa, tetapi justru memecah belah rakyat dengan narasi “kami vs mereka”. Akibatnya, masyarakat tidak lagi melihat sesama sebagai saudara, tetapi sebagai musuh.

Jika ini dibiarkan, nasionalisme kita tidak lagi menjadi semangat persatuan, melainkan alat pemecah belah. Saatnya membangun nasionalisme yang tidak berteriak tentang siapa yang benar, tetapi bekerja bersama untuk masa depan yang lebih baik.

Kita hidup di era digital di mana hoaks dan berita palsu menyebar lebih cepat dari kebenaran. Hoaks bisa menghancurkan reputasi, memicu kebencian, bahkan merusak persatuan bangsa. Jadilah pemutus hoaks, bukan penyebarnya. Jika mendapat berita yang mencurigakan, berhenti di dirimu. Jangan menyebarkan tanpa memastikan kebenarannya.

Indonesia butuh pemuda yang cerdas, tidak mudah terprovokasi. Jangan biarkan pikiran kita dikendalikan oleh kebohongan. Kita adalah generasi yang menentukan arah bangsa—pilih menjadi agen kebenaran, bukan penyebar ketakutan.

Kita semua memiliki peran dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Berhentilah mencari kemenangan pribadi di atas penderitaan rakyat. Kita harus bergabung, bekerja bersama, dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Hanya dengan semangat gotong royong dan kerja sama, kita bisa membangun negeri yang sejahtera dan harmoni. Saatnya bergerak, saatnya maju bersama!

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan