Anggaran Pusat vs Manfaat Daerah: Keterlibatan Negara dalam Perlindungan Kelas Menengah

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kelas menengah di Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup berat. Berdasarkan data BPS, jumlah mereka telah berkurang drastis dari 57,33 juta orang atau 21,45% populasi pada 2019 menjadi 47,85 juta orang atau 17,13% pada 2024. Penurunan ini sebesar 9,5 juta jiwa mengungkapkan tekanan ekonomi yang terus merajalela: kenaikan harga hidup dan fluktuasi daya beli membuat kelompok ini sulit mempertahankan posisinya. Padahal, mereka berkontribusi sekitar 40% terhadap konsumsi nasional. Perlemahan daya beli mereka yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun mengakibatkan perlambatan konsumsi dan mengancam stabilitas ekonomi.

Sejak lama, kelas menengah bawah telah mendapat manfaat dari berbagai jenis subsidi, meskipun secara resmi tidak termasuk dalam program bantuan sosial. Di antaranya adalah subsidi energi seperti BBM, listrik, dan LPG 3 kg, serta bantuan di sektor pendidikan dan kesehatan. Namun, sistem penyaluran ini kurang efektif karena tidak langsung dan sering terbocor ke kalangan dengan penghasilan lebih tinggi. Akibatnya, kelompok yang sebenarnya membutuhkan perlindungan, termasuk sebagian besar kelas menengah bawah, justru tidak mendapat manfaat yang optimal. Ini membuat kebijakan pemerintah sulit mencapai tujuan distribusi kesejahteraan dengan maksimal.

Untuk itu, langkah Presiden Prabowo Subianto harus diperhatikan dengan seksama. Tidak hanya menjaga subsidi penting, ia juga mengarahkan pengeluaran negara agar manfaatnya lebih langsung dan terukur. Dalam RAPBN 2026, alokasi untuk program sosial dan pemberdayaan ekonomi mencapai lebih dari Rp1.300 triliun, dengan mekanisme yang lebih ketat agar dana tidak terjebak di tingkat daerah.

Sebelumnya, penyaluran melalui pemerintah daerah sering menghadapi birokrasi yang panjang dan rumit, sehingga mengurangi efektivitas anggaran. Oleh karena itu, Presiden mendorong kolaborasi intens antara Kementerian/Lembaga dengan pemerintah daerah agar program bisa lebih tepat sasaran. Ketepatan sasaran menjadi fokus utama dalam kebijakan ini. Dalam pidato RAPBN 2026, Presiden menekankan komitmen untuk mengurangi kemiskinan dengan prinsip “Tepat Sasaran!”. Untuk mendukung hal ini, pemerintah meluncurkan DTSEN (Data Terpadu Sosial dan Ekonomi Nasional), sebuah platform data khusus yang memastikan bantuan seperti Program Keluarga Harapan dapat disalurkan dengan cepat, efisien, dan akurat.

Dengan sistem baru ini, masyarakat di daerah akan lebih cepat merasakan manfaatnya. Pemerintah juga memperkuat DTSEN untuk memastikan sasaran penerima bantuan di berbagai wilayah lebih tepat. Untuk pertama kalinya, kelas menengah secara eksplisit dimasukkan dalam skema bantuan sosial. Diskon tarif listrik, yang sebelumnya hanya berlaku untuk pelanggan PLN 450-1.300 VA, kini diperluas hingga 2.200 VA sejak awal 2025. Hal ini manfaatkan sekitar 85% rumah tangga, termasuk keluarga kelas menengah di perkotaan dan daerah.

Menurut Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf, langkah ini sangat strategis. Pemerintah sadar bahwa tekanan ekonomi tidak hanya dirasakan oleh kalangan miskin, tetapi juga oleh kelas menengah. Hal ini sesuai dengan praktik global, di mana banyak negara melindungi kelas menengah untuk menjaga konsumsi dan stabilitas ekonomi. Dampak perubahan alokasi anggaran ini akan terasa paling nyata di daerah, tempat masyarakat sering hanya menerima “sisa” manfaat dari program pemerintah pusat. Dengan mekanisme baru, dana dari pusat diharapkan sampai langsung ke rakyat tanpa tergerus birokrasi.

Bagi kelas menengah bawah di daerah, kebijakan ini sangat berarti. Mereka sering tidak termasuk dalam kategori miskin, sehingga jarang mendapat bantuan sosial, tetapi daya beli mereka mudah terganggu oleh kenaikan harga pangan, biaya pendidikan, atau cicilan rumah. Dengan subsidi dan bantuan langsung yang lebih tepat sasaran, konsumsi lokal tetap stabil, UMKM dapat bertahan, dan ekonomi daerah tetap sehat. Ini membuktikan bahwa kebijakan fiskal bukan sekadar angka, tetapi alat nyata untuk menjaga keseimbangan sosial-ekonomi.

Tetapi, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, subsidi tetap penting, tetapi harus disalurkan dengan tepat agar tidak terbocor ke kelompok yang tidak membutuhkannya. Reformasi pola subsidi bukan pilihan, tetapi langkah yang wajib untuk meningkatkan efektivitas intervensi pemerintah. Kedua, bantuan sosial hanya sebagai solusi jangka pendek; untuk keberlanjutan, kelas menengah bawah memerlukan pekerjaan yang stabil, akses rumah yang terjangkau, serta biaya pendidikan dan layanan kesehatan yang terkendali. Ketiga, distribusi anggaran harus transparan dan akuntabel; pemindahan jalur ke Kementerian/Lembaga tidak boleh menciptakan birokrasi baru yang tidak efisien. Tujuan utama tetap memastikan setiap rupiah belanja sosial sampai kepada yang membutuhkannya.

Kebijakan ini menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya tentang pertumbuhan angka, tetapi tentang kemampuan masyarakat untuk merasa aman dan sejahtera. Kelas menengah bawah bukan hanya pembayar pajak, tetapi juga motor utama konsumsi yang menjaga stabilitas ekonomi. Menjaga daya beli mereka artinya menjaga fondasi sosial dan ekonomi bangsa, sekaligus membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang adil dan berkelanjutan.

Pembangunan ekonomi sejati harus memposisikan manusia sebagai pusat, bukan hanya sebagai angka statistik. Sukses ekonomi tidak hanya diukur dari pertumbuhan GDP, tetapi sejauh mana rakyat, khususnya kelas menengah bawah, merasakan kenyamanan, kesejahteraan, dan memiliki masa depan yang terjamin.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan