Parlemen Malaysia Mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pengemudi Ojol

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Parlemen Malaysia telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Pekerja Gig pada 28 Agustus 2025, langkah yang diyeksi sebagai peningkatan signifikan dalam perlindungan pekerja harian lepas. Keputusan ini diambil setelah era panjang protes dari para pekerja atas praktik yang dianggap ekspluatif oleh perusahaan teknologi. Permintaan perlindungan semakin kuat karena industri yang berkembang pesat ini selama ini beroperasi di luar kerangka hukum ketenagakerjaan yang formal.

Menurut Malay Mail, data dari Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia (Kesuma) menunjukkan bahwa sekitar 1,2 juta warga Malaysia saat ini bergantung pada pekerjaan gig, dengan sektor e-hailing atau layanan transportasi online menjadi yang paling menonjol.

Pada kuartal pertama tahun 2025, angkatan kerja Malaysia mencapai 16,7 juta orang, dengan 3,45 juta di antara mereka bekerja di sektor informal, yang setara dengan 20,65% dari total tenaga kerja. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,2 juta orang merupakan pekerja gig dan pekerja mandiri. Data dari Pertubuhan Keselamatan Sosial (Perkeso) juga menunjukkan bahwa 133.481 pekerja aktif di bawah sektor p-hailing (layanan pengantaran barang/makanan) dan 189.450 di bawah sektor e-hailing.

Dengan adanya undang-undang baru, semua platform dan perusahaan yang mempekerjakan pekerja gig, termasuk Grab dan Foodpanda, harus menyediakan kontrak yang jelas mengenai standar minimum pembayaran, pengaturan kerja, perlindungan asuransi, serta prosedur pemutusan hubungan kerja.

Untuk menekan praktik tidak adil, undang-undang ini melarang perubahan tarif sepihak, penonaktifan akun tanpa alasan yang jelas, dan pembatasan kerja di banyak platform sekaligus. Undang-undang ini juga membentuk Tribunal Pekerja Gig yang berwenang menyelesaikan sengketa dan memerintahkan pemulihan, seperti pengaktifan kembali akun, kompensasi, atau pembayaran upah yang tertunggak. Untuk pertama kalinya, pekerja akan memiliki hak untuk didengar sebelum penangguhan terjadi. Jika terbukti tidak bersalah, mereka akan menerima kompensasi sebesar setengah dari rata-rata pendapatan harian mereka, perlindungan yang sebelumnya tidak tersedia.

Kesuma juga menjelaskan bahwa RUU Pekerja Gig 2025 memberikan kerangka hukum yang jelas untuk melindungi hak dan kesejahteraan pekerja gig. Mereka yang termasuk criteria pekerja gig adalah mereka yang menandatangani perjanjian layanan dengan penyedia platform atau memperoleh penghasilan dari berbagai aktivitas, seperti akting, bernyanyi, produksi film, penulisan lirik, tata rias, tata rambut, jurnalisme freelance, layanan perawatan, videografi, dan fotografi.

Pengesahan undang-undang ini dianggap sebagai langkah besar karena mengatasi sejumlah masalah utama yang dihadapi pekerja gig. Sebelumnya, mereka tidak memiliki pengakuan hukum yang jelas, sehingga sulit untuk menyelesaikan sengketa. Undang-undang baru ini mewajibkan pemberi layanan untuk menyumbang ke jaminan sosial seperti Perkeso dan EPF, memberikan jaring pengaman bagi pekerja gig. Selain itu, undang-undang ini membentuk mekanisme penyelesaian sengketa resmi untuk menangani keluhan secara terstruktur dan transparan. Pekerja gig juga diperbolehkan mengajukan mediasi dalam permasalahan dengan pemilik usaha atau penyedia platform, seperti penonaktifan akses. UU ini juga mengatur perlindungan pendapatan dengan mewajibkan perusahaan untuk mendefinisikan skema pembayaran secara jelas, sekaligus melarang potongan sepihak.

Dengan pelindungan hukum yang lebih kuat, pekerja gig di Malaysia kini memiliki jaminan lebih baik dalam menjalankan pekerjaan mereka. Langkah ini tidak hanya memberikan keadilan, tetapi juga mendorong industri gig ekonomi untuk berkembang secara lebih sehat dan berkelanjutan. Pekerja gig kini memiliki hak yang lebih jelas, dan ini bisa menjadi teladan bagi negara lain dalam melindungi para pekerja dalam sektor yang serupa.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan