Pemantauan Lanjut PBB Terhadap Kasus Kekerasan Aparat di Indonesia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ratusan mahasiswa melakukan aksi di berbagai kota di Indonesia, meskipun adanya kekhawatiran akan tanggapan represif dari aparat setelah kerusuhan akhir pekan lalu yang menewaskan delapan orang. Insiden ini menjadi salah satu tragedi terparah selama dua dekade terakhir di negara ini.

Di Jakarta, sekitar 500 orang berkumpul di depan Gedung DPR/MPR Senin (01/09) sore, dengan kehadiran puluhan petugas polisi yang menjaga ketiadaan. Awalnya, anggota TNI juga hadir, namun meninggalkan tempat beberapa jam kemudian. Di Palembang, ribuan demonstran turun ke jalanan. Sementara itu, di Banjarmasin, Yogyakarta, dan Makassar, ratusan warga juga melaksanakan unjuk rasa.

Sejak Minggu (31/08), kepolisian bersama TNI telah melakukan patroli besar-besaran. Mereka mendirikan pos pemeriksaan di Jakarta pada Senin (01/09) dan menempatkan penembak jitu di titik-titik strategis. Aksi protes juga mengganggu pasaran, menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 3% di awal perdagangan Senin (01/09), sebelum sedikit pulih kembali.

Kerusuhan meletus pada akhir Agustus 2025 setelah pemerintah memberikan tambahan fasilitas bagi anggota DPR. Protes dimulai sebagai penolakan terhadap tunjangan rumah anggota DPR, yang mencapai sepuluh kali lipat dari upah minimum di Jakarta. Akhirnya, Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan DPR mengundurkan kebijakan tersebut. Awalnya damai, protes melemahkan ketika terjadi bentrokan setelah Brimob melindas Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, pada Kamis (28/08) malam. Kerusuhan pun menyebar ke beberapa kota besar lainnya. Sebagai tanggapan, Prabowo mencabut beberapa fasilitas DPR dan membatalkan kehadirannya dalam KTT SCO di Cina.

Dari sisi masyarakat sipil, daftar “17+8 Tuntutan Rakyat” menjadi viral di media sosial Sabtu (30/08). Daftar itu berisi permintaan kepada pemerintah dan DPR, yang diungkapkan oleh berbagai figur publik. Angka 17 dan 8 mewakili tuntutan jangka pendek (tenggat 5 September 2025) dan jangka panjang (tenggat 31 Agustus 2026). Tuntutan jangka pendek mencakup penarikan TNI dari pengamanan sipil, pembentukan tim investigasi independen tentang korban kekerasan, pembekuan kenaikan gaji DPR, transparansi anggaran, dan penghukuman anggota DPR yang tidak etis. Sementara itu, delapan tuntutan jangka panjang berfokus pada reformasi sistemik, termasuk reformasi DPR, partai politik, sistem perpajakan, dan pembatasan peran TNI dalam proyek sipil.

PBB juga menyoroti situasi di Indonesia. Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB mengeluarkan pernyataan Senin (01/09), menegaskan bahwa pemerintah harus menjaga kebebasan berkumpul dan berekspresi sambil menjaga ketertiban. PBB juga mendesak investigasi cepat mengenai dugaan pelanggaran HAM dan memastikan aparat keamanan mematuhi prinsip penggunaan kekuatan.

Demonstrasi yang masih berlanjut menunjukkan tautan erat antara hak asasi manusia dan stabilitas sosial. Pemicu protes, baik dari tunjangan DPR yang berlebihan hingga respon represif aparat, mengingatkan kita akan pentingnya dialog dan reformasi yang terstruktur. Langkah-langkah yang diambil pemerintah perlu segera ditindaklanjuti dengan transparansi dan komitmen nyata untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Krisis ini bukan hanya tentang kekerasan saat ini, tetapi juga tentang pembangunan sistem yang lebih adil dan merata bagi semua lapisan masyarakat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan