Penurunan Harga Sarang Burung Walet RI Dan Penyebabnya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Eksportir sarang burung walet di Indonesia sedang menghadapi dua masalah utama: penurunan harga dan penundaan ekspor. Hal ini disebabkan oleh kebijakan baru yang diatur oleh pemerintah China.

Menurut Benny Hutapea, pembina Sarang Walet Indonesia, aturan baru tersebut menetapkan batas kandungan aluminium 100mg/kg. Peraturan ini sebelumnya tidak termasuk dalam MoU impor antara Indonesia dan China. “Sejak Juli 2024, 11 perusahaan yang terdaftar mengalami penangguhan ekspor sarang burung walet ke China,” kata Benny, Kamis (28/8/2025).

Indonesia merupakan salah satu produsen sarang burung walet terbesar di dunia, dengan produksi mencapai sekitar 1.900 ton per tahun menurut data 2023. Produksi ini terus meningkat setiap tahunnya. Namun, harga sarang burung walet menurun hingga Rp 20 juta per kilogram, padahal nilai komoditas ini mencapai Rp 38 triliun per tahun (US$ 2,35 miliar). Komoditas ini sangat strategis karena memberikan devisa besar dan mendukung perekonomian masyarakat luas.

Penangguhan ekspor ini menyebabkan beberapa dampak. Pertama, volume ekspor turun sekitar 250 ton per tahun atau setara dengan Rp 5 triliun (US$ 309 juta). Pasar utama, yaitu China, menempati 78% dari total ekspor. Kedua, ratusan ribu tenaga kerja di pabrik, UMKM, dan rantai pasok terancam PHK. Satu juta lebih petani walet di seluruh Indonesia mengalami kesulitan menyalurkan hasil panen karena permintaan pasar menurun, sehingga pendapatan masyarakat di daerah terpukul. Harga sarang walet pun jatuh drastis dari Rp 45 juta/kg (US$ 2.780/kg) menjadi Rp 20 juta/kg (US$ 1.235/kg), dan berpotensi terus menurun jika kebijakan ini tidak segera dicabut.

Ketiga, kepercayaan konsumen global menurun, yang berisiko menjadi hambatan ekspor bagi seluruh perusahaan Indonesia, bukan hanya 11 perusahaan yang terkena penangguhan. Kontribusi devisa negara berpotensi menurun drastis, yang berpengaruh besar di sektor pangan, farmasi, nutraceutical, herbal, dan kosmetik. Jika situasi ini terus berlanjut, Indonesia hanya akan menjadi pengekspor bahan mentah yang belum diolah ke China.

Akibatnya, produk sarang burung walet di dunia berisiko didominasi oleh label Made in China, sehingga nilai tambah, lapangan kerja, dan citra produk yang seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia berpindah ke negara lain. Benny meminta pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Ia berharap negosiasi tingkat tinggi dengan pemerintah China dilakukan agar penangguhan ekspor segera dipulihkan. Pemerintah juga diminta memperbarui protokol perdagangan bilateral untuk lebih adil dan berbasis ekonomi, serta memberikan jaminan keberlanjutan ekspor sarang burung walet Indonesia, sekaligus mendukung peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri.

Mengetahui situasi ini, penting untuk menyadari bahwa industri sarang burung walet bukan hanya tentang ekspor, tetapi juga tentang penciptaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi lokal. Dengan upaya bersama dari pemerintah, petani, dan industri, Indonesia dapat mempertahankan posisinya sebagai pemimpin dalam produksi sarang burung walet dengan nilai tambah yang tinggi.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan