Pelarangan Total Kemasan BPA yang Dicadangkan Forum PBB karena Ancaman Kesehatan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Penggunaan polikarbonat dalam kemasan makanan dan minuman terus menjadi perhatian karena potensi kontaminasi dengan Bisfenol A (BPA), senyawa kimia yang riset menunjukkan 93% populasi global memiliki jejak di tubuh. Eksposur terhadap BPA dikaitkan dengan risiko gangguan hormonal, kerusakan neural pada anak, hingga kemungkinan kanker.

Kebijakan tersebut menjadi fokus utama dalam pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) di Busan, Korea Selatan, yang dihadiri 85 negara. Selain isu polusi plastik, forum ini juga membahas dampak bahan kimia berbahaya pada kemasan terhadap manusia dan lingkungan. Salah satu agenda penting adalah pelarangan global penggunaan BPA dalam kemasan.

Sejak 1950-an, BPA digunakan untuk membuat plastik keras seperti galon, botol, dan wadah makanan. Substansi ini mudah berpindah ke makanan atau minuman, khususnya ketika terkena panas, terpapar sinar matahari, atau mengalami perubahan pH. Penelitian menunjukkan galon yang digunakan lebih dari satu tahun mengalami migrasi BPA dalam jumlah berbahaya.

“BPA akan terlepas saat bersentuhan dengan air, dan prosesnya lebih cepat jika terkena panas atau dicuci secara berulang,” keterangan Profesor Mochamad Chalid, ahli polimer Universitas Indonesia, Kamis (21/8/2025). BPA dapat meniru hormon estrogen, mengganggu keseimbangan hormonal yang berpengaruh pada kesuburan, metabolisme, dan fungsi otak. Kelompok yang paling rentan adalah anak-anak dan wanita hamil. BPA juga terkait dengan penurunan kecerdasan, gangguan perilaku, diabetes, penyakit jantung, dan kanker.

Dalam pertemuan INC-5, 85 negara setuju untuk menyertakan BPA dalam “Daftar 1 Bahan Kimia Berbahaya”. Proposal yang dipimpin Norwegia mendapat dukungan dari Uni Eropa, Australia, Kanada, dan negara-negara Afrika. Perjanjian juga menetapkan kewajiban pelabelan kandungan BPA untuk memberikan informasi kepada konsumen. Di Indonesia, BPOM telah mengeluarkan Peraturan Nomor 6 Tahun 2024 tentang label peringatan pada galon polikarbonat, namun pelaksanaan baru berlaku pada 2028. Pertemuan di Jenewa diharapkan bisa menyepakati jadwal penghapusan bertahap, dukungan teknis bagi negara berkembang, dan sistem pemantauan. Hal ini diujudkan untuk mendorong penggunaan kemasan plastik yang lebih aman dan melindungi kesehatan masyarakat global.

Penelitian terkini mengungkapkan bahwa pengaruh BPA pada anak-anak lebih berbahaya karena sistem hormonal mereka masih dalam tahap perkembangan. Studi menunjukkan bahwa paparan jangka panjang BPA pada ibu hamil dapat menurunkan kualitas sperma calon keturunannya. Selain itu, BPA juga ditemukan berpotensi menggangu sistem imun, meningkatkan risiko alergi pada anak. Data ini memperkuat kebutuhan larangan global terhadap senyawa ini.

Sementara itu, industri kemasan mulai beralih ke bahan alternatif seperti polilaktat (PLA), terderivat dari kanji, yang ramah lingkungan dan aman. Namun, biaya produksi masih menjadi hambatan. Pemerintah dan produsen harus bekerja sama untuk membuat alternatif ini lebih terjangkau. Penyederhanaan informasi tentang risiko BPA juga penting, sehingga masyarakat lebih waspada dalam memilih produk plastik.

Kemasan plastik yang aman bukan hanya soal regulasi, tetapi juga tanggung jawab konsumen. Pilihlah produk yang jelas menandai bebas BPA dan hindari penggunaan ulang plastik yang sudah berusia lama. Dengan langkah-langkah konkret, kita bisa mendukung upaya global dalam mengurangi dampak negatif BPA pada kesehatan dan lingkungan. Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mendukung inovasi dalam bahan kemasan adalah langkah penting untuk masa depan yang lebih sehat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan