Kebijakan regarding pajak atas minuman berbahan manis yang di dalam kemasan (MBDK) dijadwalkan akan mulai berlaku pada tahun 2026. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, saat menyampaikan hasil rapat kerja (raker) terkait pengambilan keputusan asumsi dasar dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran (TA) 2026.
Rapat tersebut dihadiri oleh beberapa pemangku kepentingan penting, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Wajiyo, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, serta Menteri Perencanaan Pembangunan dan Penanaman Modal/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy.
Misbakhun menambahkan bahwa penentuan tarif pajak tersebut akan melalui proses konsultasi dengan DPR. “Tarif pajaknya harus dikonsultasikan dengan DPR terlebih dahulu,” kata Dia dalam rapat tersebut, Jumat (22/8/2025).
Selanjutnya, akan dilakukan penentuan kebijakan pajak terhadap produk tembakau, perkuatan bea masuk dalam perdagangan internasional, serta penetapan biaya keluar untuk sumber daya alam seperti batubara dan emas. Pada tahun yang sama, pemerintah juga akan memperketat penegakan hukum terhadap perdagangan barang kena pajak ilegal dan penyelundupan, serta meningkatkan pengawasan terhadap nilai barang impor.
Dalam rapat tersebut, telah disepakati total penerimaan negara sebesar Rp 3.147,7 triliun. Rincian penerimaan tersebut meliputi pajak sebesar Rp 2.692 triliun, dengan detail pajak Rp 2.357,7 triliun, bea dan cukai Rp 334,3 triliun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Rp 455 triliun, dan hibah Rp 0,7 triliun.
Menurut catatan Thecuy.com, rencana penerapan pajak MBDK sudah diusulkan pemerintah sejak tahun 2020. Pada saat itu, Sri Mulyani mengusulkan tarif pajak sebesar Rp 1.500 per liter untuk produk teh dalam kemasan. Produksi teh kemasan mencapai 2,191 juta liter per tahun, dengan potensi pendapatan mencapai Rp 2,7 triliun. Untuk minuman karbonasi, tarif pajak yang diusulkan adalah Rp 2.500 per liter, dengan produksi sebesar 747 juta liter, menghasilkan potensi pendapatan negara sebesar Rp 1,7 triliun.
Tarif pajak untuk produk minuman berpemanis lainnya, seperti energy drink, kopi, dan konsentrat, diusulkan sebesar Rp 2.500 per liter. Total produksi minuman tersebut mencapai 808 juta liter, dengan potensi pendapatan sebesar Rp 1,85 triliun.
Pada tahun 2025, rencana penerapan pajak MBDK muncul kembali, tetapi akhirnya tidak terwujud. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Djaka Budi Utama, mengatakan dalam konferensi pers APBN KiTA, Selasa (17/6/2025), bahwa penerapan pajak MBDK mungkin akan tertunda hingga 2026.
Penerapan pajak MBDK telah direncanakan sejak lama, namun belum dapat diwujudkan. Pada tahun 2025, pemerintah sudah görülukan pendapatan dari pajak MBDK sebesar Rp 3,8 triliun.
Data Riset Terbaru:
Pada tahun 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa pajak terhadap minuman berpemanis dapat mengurangi konsumsi minuman berkalori tinggi hingga 20%. Studi menunjukkan bahwa pengenaan pajak ini juga dapat meningkatkan pendapatan negara, khususnya di negara-negara berpenduduk banyak seperti Indonesia.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kebijakan pajak MBDK tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga untuk mendorong masyarakat mengonsumsi minuman lebih sehat. Dengan tarif pajak yang lebih tinggi, diharapkan konsumsi minuman berpemanis akan berkurang, sehingga membantu mengatasi masalah kesehatan seperti diabetes dan obesitas.
Kesimpulan:
Saat ini, penerapan pajak atas minuman berpemanis dalam kemasan menjadi salah satu langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dan promosi kesehatan masyarakat. Meskipun prosesnya terlambat, keputusan ini diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi peningkatan kualitas hidup dan stabilitas keuangan negara.
Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Owner Thecuy.com