Mengungkap Isi Buku “Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham”: Spektrum Perempuan dan Kemanusiaan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Buleud Gallery & Studio di Jalan Pemuda, Tasikmalaya, menjadi tempat berlangsungnya acara bincang-bincang dan bedah buku puisi yang berjudul “Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham” karya Annisa Resmana, pada Jumat malam (22/8/2025). Kegiatan ini mempertemukan dua pembicara, yaitu penyair senior Acep Zamzam Noor dan penulis Alexandreia Wibawa, yang bersama-sama mengulas karya tulis perdana Annisa dengan mendalami isinya.

Pada kesempatan tersebut, Annisa mengungkap bahwa aktivitas menulis puisi menjadi wadah untuk bersantai dari beban tugas akademiknya. “Wajib akademik menuntut saya. Untuk istirahat, saya pilih menulis puisi. Puisi tidak selalu harus berteriak untuk menyampaikan luka,” kata Annisa. Ia juga mengaku memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Tasikmalaya, yang memengaruhi perkembangan puisi-puisinya. “Saya selalu suka kembali ke kota ini karena saya selalu merasa disambut. Perjalanan puitik saya berkembang di sini, bersama guru-guru saya,” ungkapnya.

Karya ini, menurut Annisa, mencerminkan berbagai pengalaman perempuan yang kompleks, tidak hanya dari perspektif gender melainkan juga kemanusiaan. Sebagian besar puisi dalam buku ini berkembang dari pengalaman sehari-hari dan refleksi yang sederhana. “Buku ini untuk sebagian besar saya tulis di meja makan rumah, sehingga gaya penulisannya cukup sederhana. Saya berharap ini bukan buku terakhir yang saya tunggu,” tambahnya.

Penyair Acep Zamzam Noor berpendapat bahwa buku ini hadir dengan konsep yang matang dan tidak hanya mengumpulkan karya-karya yang sudah ada. “Judulnya sangat menarik dan prosais. Puisi ini, sebagian besar ditulis tahun 2025, lahir dari konsep yang terencana, bukan sekadar mengumpulkan karya lama. Tema gender dalam satu buku ini menarik perhatian,” kata Acep. Menurutnya, Annisa mampu mengangkat isu gender dengan refleksi yang mengingat dimensi kemanusiaan.

Sedangkan penulis Alexandreia Wibawa terkesan dengan kedalaman puisi Annisa yang tetap mudah dipahami. Acep juga menambahkan bahwa Annisa mencerminkan kesadaran diri sebagai perempuan dalam karya tersebut. “Dia berbicara tentang pengalaman sehari-hari, dari masa remaja, masa kuliah, hingga kehidupan rumah tangga. Bukan hanya perspektif perempuan, tetapi juga kemanusiaan. Ada juga tema geopolitik yang disentuh,” ujar Acep.

Menulis puisi adalah cara Annisa untuk melarikan diri dari tekanan akademik. Kehangatan kota Tasikmalaya selalu menjadi inspirasi bagi karya-karyanya. Buku ini menggambarkan kompleksitas kehidupan perempuan, tidak hanya dari sudut gender tetapi juga sebagai manusia. Keberhasilan Annisa dalam menyampaikan pesan dalam puisi dengan cara yang sederhana namun mendalam membuat acara ini menjadi acuan bagi penulis muda. Setiap kata dalam puisi ini mengajak pembaca untuk refleksi lebih dalam tentang kehidupan, gender, dan kemanusiaan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan