Indeks Kualitas Demokrasi dan Kekayaan Negara Indonesia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Presiden Prabowo Subianto pernah membahas dalam bukunya Paradoks Indonesia (2017) bahwa PDB per kapita Malaysia sekitar dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Ini menandakan bahwa masyarakat Malaysia secara rata-rata lebih sejahtera daripada masyarakat Indonesia. Padahal, sumber daya alam Indonesia jauh lebih melimpah. Maka timbul pertanyaan, apa penyebab terjadinya kesenjangan ini?

Jawabannya ada dalam buku tersebut. Harta benda Indonesia tidak hanya mengalir ke luar negeri, melainkan juga bocor di dalam negeri sendiri. Sementara itu, perekonomian masih dikuasai oleh beberapa kalangan elit.

Selain itu, perlu diingat bahwa institusi demokrasi di Indonesia belum berkembang dengan baik. Di sini, institusi Begriff mengacu pada institusi ekonomi dan politik yang inklusif.

Setelah reformasi 1998, Indonesia telah mengukuhkan identitasnya sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tidak ada alasan untuk kembali ke sistem otoritarian. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi menjadi prioritas, dan ini tidak akan terjadi dengan sendirinya, melainkan memerlukan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat serta stabilitas politik jangka panjang yang terus-menerus.

Sejarah menunjukkan bahwa konsentrasi kekuasaan dan sumber daya pada beberapa elit atau oligarki adalah ciri utama kemunduran demokrasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menjadi penyebab pelecehan dari kelompok mayoritas yang merasa terkesan berada di pinggiran dan tidak ikut serta dalam proses pemutusan keputusan.

Oleh karena itu, mekanisme checks and balances harus diperkuat sebagai salah satu penyangga penting demokrasi. Institusi-institusi demokrasi seperti masyarakat sipil, peradilan yang independen, supremasi hukum, dan pers perlu diperkuat untuk menciptakan demokrasi yang sehat dan seimbang.

Kegagalan Indonesia dalam mencapai kemakmuran sampai saat ini adalah realitas yang sulit untuk dihindari. Dengan sumber daya alam yang melimpah, negara masih menghadapi masalah struktural seperti kemiskinan yang tinggi, ketimpangan sosial-ekonomi yang luas, kesulitan dalam mencari pekerjaan, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Ini adalah paradoks Indonesia, sebuah negara yang kaya namun banyak warganya masih miskin.

Tentunya, ada banyak faktor yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini, mulai dari warisan kolonial, ketimpangan global, korupsi yang parah, hingga manajemen pemerintahan yang lemah. Namun dalam artikel ini, saya ingin lebih menekankan pentingnya memperkuat institusi yang inklusif dan konsolidasi demokrasi yang berkelanjutan sebagai fondasi menuju kemakmuran.

Demokrasi dalam arti sebenarnya bukan hanya tentang pemilu langsung atau pergantian kekuasaan melalui pemilu, tetapi juga tentang distribusi kesejahteraan, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, infrastruktur publik, dan berbagai bentuk barang publik lainnya.

Tanpa adanya distribusi kesejahteraan yang adil, demokrasi akan kehilangan legitimasi dan hanya menjadi prosedur kosong yang tidak mendapatkan dukungan yang signifikan. Dalam buku Acemoglu dan Robinson berjudul Why Nations Fail (2012), mereka mengungkapkan bahwa kemakmuran dan stabilitas jangka panjang hanya dapat dicapai jika sebuah negara membangun institusi politik dan ekonomi yang inklusif. Ini berarti memastikan partisipasi luas dalam proses pengambilan keputusan, menjamin perlindungan hak milik dan kebebasan berusaha, serta memberikan kesempatan yang setara bagi semua warga untuk berkembang dan berinovasi.

Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat direalisasikan melalui penguatan partisipasi dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan publik, serta penguatan dan pemberdayaan lembaga pengawasan seperti KPK, Ombudsman, dan BPK. Contohnya, peran publik yang signifikan dalam pembuatan rancangan undang-undang seperti RUU Perampasan Aset, RUU BUMN, dan undang-undang lainnya, sehingga memastikan komitmen negara terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Tanpa partisipasi publik yang kuat, regulasi cenderung lebih mendukung kepentingan elit daripada rakyat.

Negara juga perlu melakukan reformasi terhadap institusi-institusi yang ekstraktif, yakni institusi yang dikendalikan oleh elit dan digunakan untuk mengekstraksi sumber daya dari masyarakat. Demokrasi dapat berjalan secara formal, tetapi tetap ekstraktif jika kekuasaan tidak sepenuhnya terdistribusi. Oleh karena itu, reformasi di bidang peradilan, birokrasi, dan penolakan politik uang menjadi bagian penting untuk keluar dari sistem institusi yang menindas ini.

Salah satu contoh dari institusi ekstraktif adalah pengendalian lahan yang tidak adil. Tanah dan sumber daya alam sering dikendalikan oleh beberapa elite bisnis dan politik melalui konsesi yang merugikan masyarakat adat, petani, nelayan, dan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, konflik agraria di Kalimantan, Papua, atau Sumatra yang tidak berpihak kepada masyarakat lokal. Reformasi perlu dilakukan dengan menyaring kembali izin konsesi HTI (hutan tanaman industri), perkebunan sawit, dan tambang yang bermasalah secara sosial dan ekologis. Kewenangan dan independensi KPK juga perlu diperkuat dalam menangani kasus korupsi di sektor SDA ini.

Untuk menjaga konsolidasi demokrasi di Indonesia, menurut pandangan Acemoglu dan Robinson, perlu memastikan keseimbangan kekuasaan di antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kemudian menjamin supremasi hukum dan independensi lembaga penegak hukum, serta memastikan sistem checks and balances berfungsi dengan baik.

Namun, jika dilihat dalam praktik pemerintahan di Indonesia dalam satu dekade terakhir, kita harus waspada dengan situasi ini. Misalnya, koalisi supermajoritas di DPR yang risiko menghilangkan pengawasan, pelemahan KPK yang sistematis sejak 2019, termasuk revisi UU KPK.

Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan, termasuk ketika menjadikan tulisan Acemoglu dan Robinson sebagai referensi favoritnya, menjelaskan mengapa satu negara menjadi kaya sementara negara lain tetap miskin. Setiap mendengar pidato Presiden Prabowo, ada semangat yang terlihat kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang makmur, dimana tidak ada lagi rakyat yang tertindas dan miskin ekstrim.

Namun dalam hal ini, Presiden Prabowo perlu memastikan penguatan institusi yang lebih inklusif, yakni institusi yang menjamin partisipasi yang luas, akuntabilitas kekuasaan, dan distribusi keadilan sosial secara merata. Kita berharap, keinginan Prabowo untuk mewujudkan Indonesia yang makmur dan sejahtera menjadi kenyataan yang terukur dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prasyarat tersebut, mengutip Acemoglu dan Robinson, kembali pada institusi yang inklusif, memperluas distribusi kesejahteraan, serta memastikan penegakan hukum yang adil, transparan, dan konsisten. Merdeka.

Kesimpulan

Bangsa yang memanfaatkan demokrasi dengan baik akan mencapai kemakmuran yang sejahtera. Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, tetapi kemunduran institusi dan kekuasaan yang terpusat pada segelintir elite telah menghambat kemajuan. Reformasi yang inklusif dan konsisten adalah kunci untuk memecahkan paradoks ini. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mewujudkan visi menjadi negara yang sejahtera bagi semua.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan