Bumi Pati: Refleksi Kearifan Lokal dalam Otonomi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Gelombang demonstrasi di Pati sebelum hari kemerdekaan telah menjadi sorotan karena kebijakan kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Tetapi, peningkatan pajak mirip juga terjadi di berbagai wilayah seperti Cirebon, Semarang, Jombang, dan Bone, bahkan mencapai 1202 persen. Kesalahpahaman mengenai otonomi daerah yang seharusnya mengantarkan kemandirian dan pembangunan lokal, ternyata terhambat oleh ketergantungan daerah pada pusat, ditambah dengan peraturan yang terbatas.

Sejak era kolonial hingga reformasi, konsep otonomi di Indonesia telah berubah dari sentralistik hingga desentralisasi. Konstitusi menetapkan bahwa pemerintah daerah berhak mengatur kepentingan internal, tetapi ada batasan pada urusan pusat yang diatur Undang-Undang. Perbedaan antara otonomi Indonesia dengan federalisme lain adalah ketergantungan wilayah pada pemerintah pusat. Pasal 18 UUD 1945 sering menjadi sumber kontroversi dalam membentuk daerah otonom baru.

Adanya ketegangan antara pusat dan daerah akibat sikap dualisme pemerintah. Konstitusi meminta perencanaan keuangan dan pemanfaatan sumber daya antara pusat dan daerah dilakukan secara adil. Namun, undang-undang seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Lingkungan juga membatasi akses pendapatan daerah.

Pada 2025, data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan 90 persen (493 dari 546) kota dan kabupaten termasuk dalam kategori fiskal lemah. Hanya 27 daerah (11 provinsi, 4 kabupaten, dan 11 kota) yang stabil secara keuangan. Ini berdampak pada kebijakan Pemda untuk menaikkan pajak seperti PBB, karena sumber PAD mereka terbatas pada sektor retail. Sementara itu, pajak dari sumber daya alami seperti tambang tidak bisa dimanfaatkan, padahal daerah tersebut terpapar dampak lingkungan dan sosial.

Otonomi daerah ditujukan untuk mempertahankan keberagaman dan kearifan lokal di Nusantara. Namun, pemekaran daerah menjadi tidak berarti tanpa dukungan keuangan yang kuat. Evaluasi terhadap 337 DOB perlu dilakukan untuk memastikan kemandirian daerah. Moratorium pemekaran yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri patut dipikirkan sangat matang. Jika tata kelola antara pusat dan daerah tidak dioptimalkan, otonomi masih sulit terus berjalan dengan baik.

Otonomi daerah harus sama sekali tidak dipenuhi peserta kebijakan yang mengganjal agar ada kemajuan di setiap wilayah. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama lewat evaluasi yang matang, agar otonomi tidak hanya sekedar nama. Peningkatan pajak oleh Pemda adalah tanda adanya ketidakseimbangan yang perlu diatasi. Jika semua pihak saling menguasai tanggung jawabnya, kemandirian daerah bisa tercapai dan mendukung persatuan Nusantara.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan