Samir dan Paman Sam Berpetualang

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Amerika Serikat (AS) baru saja menolak pengajuan visa medis untuk Samir Muhammed Zekut, seorang anak berusia 11 tahun. Samir kehilangan lengan kirinya, kaki-kakinya, serta sebagian kesadaran akibat serangan udara Israel di wilayah Gaza. Rencananya, Samir akan diobati di sebuah rumah sakit di Florida. Namun, Amerika Serikat menolak permintaan tersebut dengan alasan Samir dinilai sebagai ancaman keamanan nasional. Kebijakan ini membantah citra Amerika Serikat sebagai negara yang peduli kepada hak asasi manusia.

Sejak dulu, Amerika Serikat sudah terbukti memberikan pelarian kepada pengungsi dari berbagai negara, seperti Hungaria tahun 1956, eksodus Kuba pada 1960-an, hingga korban perang Bosnia pada 1990-an.

Dalam masalah hukum internasional, Israel adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas tragedi di Gaza. Sebagai Occupying Power, Israel wajib melindungi warga sipil menurut Fourth Geneva Convention (1949). Konvensi ini menyatakan bahwa anak-anak harus dilindungi (Pasal 16), fasilitas kesehatan harus dijaga (Pasal 18), diskriminasi dilarang (Pasal 27), dan hukuman kolektif tidak boleh dilakukan (Pasal 33). Namun, Amerika Serikat tidak dapat mempertahankan netralitasnya dalam kasus ini. Menolak seorang anak hanya karena asal usulnya merupakan pelaksanaan hukuman kolektif yang melanggar Konvensi Jenewa.

Tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional, sesuai dengan ARSIWA (Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts) yang disusun oleh International Law Commission (ILC) pada 2001. Pasal 16 ARSIWA menyatakan bahwa negara dapat diinterogasi jika terbukti mendukung pelanggaran hukum internasional oleh negara lain. Meskipun ARSIWA bukan merupakan traktat, PBB telah mengadopsinya sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional.

Berbagai lembaga internasional, termasuk PBB dan Amnesty International, telah melaporkan wilayah Israel melanggar hukum internasional. Laporan Komisi Penyelidikan PBB (2024-2025) menegaskan Israel telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (Mei 2024) juga menyatakan operasi militer Israel telah mengabaikan hukum humaniter dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara itu, Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese mengemukakan dugaan genosida dalam laporan “From Economy of Occupation to Economy of Genocide” (Juni 2025). Amnesty International (2023) pula melihat kejahatan sistematis terhadap perempuan dan anak-anak di Gaza. Namun, Amerika Serikat memilih untuk tidak campur tangan.

Ironisnya, Amerika Serikat sendiri melanggar Leahy Laws, sebuah undang-undang yang melarang pendanaan atau dukungan kepada militer asing yang tercela dalam pelanggaran hak asasi manusia. Leahy Laws, yang dinamai dari Senator Patrick Leahy dari Vermont, disahkan Presiden Bill Clinton pada 1996 setelah kasus kejahatan militer Kolombia yang dibiayai Washington. Sebelumnya, undang-undang ini juga diterapkan terhadap militer Bangladesh dan Nigeria karena kasus penyiksaan, serta TNI pasca tragedi Timor Timur 1999. Departemen Luar Negeri dan Pertahanan Amerika Serikat mengelola Leahy Laws, dengan prinsip bahwa bantuan tidak boleh diberikan kepada militer asing yang “credibly alleged” melakukan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.

Dengan demikian, Israel adalah pihak utama yang bertanggung jawab atas kekerasan di Gaza, tetapi Amerika Serikat juga turut memiliki tanggung jawab. Amerika Serikat tidak hanya memberikan dukungan keuangan, senjata, dan perlindungan diplomatik, tetapi juga menutup pintu bagi korban perang yang membutuhkan bantuan medis. Kasus Samir menjadi simbol terang dari kebijakan Amerika Serikat yang memprioritaskan kepentingan geopolitik atas nyawa anak-anak. Apakah ini adalah tanda adanya sistem apartheid global yang mempertahankan kudeta atas hak-hak dasar manusia?

Umumnya, Amerika Serikat mengklaim diri sebagai pelindung hak asasi manusia. Namun, Realitanya menunjukkan bahwa Amerika Serikat justru turut mempertahankan sistem yang memungkinkan kejahatan perang dan pelanggaran HAM terjadi. Perubahan harus dimulai dari pengakuan bahwa system yang ada tidak lagi kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mereka janjikan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan