100 Ribu Pekerja Pabrik Berisiko PHK Akibat Peningkatan Harga Gas

dimas

By dimas

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membocorkan bahwa sejumlah 100 ribu tenaga kerja di sektor industri berisiko kehilangan pekerjaan akibat batasan terhadap pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Keputusan ini telah menyulut kekhawatiran besar di kalangan investor manufaktur Indonesia.

Menurut Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) tak dapat dihindari jika industri terpaksa mengurangi produksi atau menutup pabrik. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan tertulis pada hari Senin (18 Agustus 2025).

Febri menyebut kebijakan tersebut sebagai “hadiah” yang tidak menyenangkan bagi industri manufaktur, khusunya saat merayakan HUT RI ke-80. “Padahal, hari kemerdekaan seharusnya menjadi momok kebanggaan bersama, tetapi pembatasan HGBT malah membuat industri harus menyesal atas kemerdekaan,” ungkapnya.

Gas bumi memegang peran penting sebagai bahan baku dan sumber energi dalam proses produksi. Sektor pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, dan sarung tangan karet merupakan beberapa penerima manfaat dari program HGBT yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden dengan harga sekitar US$ 6,5 per MMBTU.

Febri mengecam situasi saat ini, di mana pasokan gas dengan harga di atas US$ 15-17 dapat beredar lancar, tetapi pasokan gas dengan harga US$ 6,5 terbatasi. “Jika terjadi pengetatan pasokan, harga akan naik hingga US$ 15-17 per MMBTU, situasi ini aneh. Mesin produksi bisa terpaksa berhenti dan memerlukan waktu serta biaya tambahan untuk dihidupkan kembali,” jelasnya.

Kenaikan harga gas juga akan memengaruhi harga produk akhir. “Jika bahan baku naik, harga produk juga akan naik. Hal ini akan menurunkan daya saing industri nasional dan membuat produk lokal kalah bersaing dengan impor,” tambahnya.

Stabilitas pasokan energi menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan industri. Jika tidak terjaga, upaya pemerintah untuk menarik investasi dan meningkatkan daya saing akan terhambat.

Febri juga mengingatkan bahwa kebijakan ini berlawanan dengan visi Presiden Prabowo Subianto tentang kemandirian energi, pangan, hilirisasi industri, dan penciptaan lapangan kerja di Asta Cita. “Pengurangan pasokan gas akan mempengaruhi ketersediaan pupuk, komponen penting untuk ketahanan pangan. Industri oleokimia juga terpengaruh, sehingga kebutuhan dalam negeri bisa terganggu,” jelasnya.

Menurut Kemenperin, alasan keterbatasan pasokan gas kurang logis. “Jika pasokan terbatas, mengapa industri masih bisa membeli gas dengan harga US$ 17 per MMBTU? Padahal, pasokan gas harga US$ 6,5 yang terbatas. Ini memerlukan penjelasan,” ujar Febri.

Febri optimis bahwa dengan menjaga harga HGBT tetap di US$ 6,5 per MMBTU dan pasokan yang stabil, serta fokus pajak pada produk hilir, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang diharapkan pemerintah dapat tercapai. “Insya Allah, dengan kebijakan yang tepat, pertumbuhan ekonomi itu bukan hanya mimpi, melainkan bisa diraih,” pungkasnya.

Menurut studi terbaru, industri manufaktur merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap fluktuasi harga energi. Data menunjukkan bahwa kenaikan harga gas hingga US$ 17 per MMBTU dapat meningkatkan biaya produksi hingga 30%, yang akan langsung mempengaruhi harga jual produk. Hal ini bisa mempengaruhi daya saing industri lokal terhadap produk impor.

Salah satu studi kasus yang relevan adalah pabrik pupuk di Jawa Timur yang terpaksa mengurangi produksi hingga 40% akibat kenaikan harga gas. Hal ini tidak hanya mempengaruhi ketersediaan pupuk di pasaran, tetapi juga menyebabkan pemberhentian sementara pekerjaan untuk ratusan buruh.

Dengan demikian, penting untuk pemerintah dan industri bekerja sama dalam memastikan stabilitas pasokan energi dan mengembangkan alternatif yang ramah lingkungan agar industri terus berkembang dengan sehat.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan